Gerakan Islam dan Jihad di Era Tanpa Daulah

Gerakan Islam dan Jihad di Era Tanpa Daulah

I. Mukadimah

“Dan Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55).

“Risalah ini (yakni Islam) akan sampai ke tempat yang telah dicapai oleh malam dan siang. Alloh tidak akan meninggalkan satu rumah pun, baik terbuat dari batu atau bulu, melainkan Dia memasukkan agama ini ke dalam rumah tersebut …” (HR. Ahmad). “… kemudian Alloh mengirimkan angin dingin, tidak seorang pun yang dalam hatinya terdapat keimanan meski seberat biji sawi melainkan akan dimatikan oleh angin tersebut” (HR. Muslim). “… dan tinggallah manusia-manusia yang berakhlak buruk, yang melakukan persetubuhan seperti himar (keledai), pada mereka inilah kiamat akan datang.” (HR. Muslim).

Bangkitnya Islam sebelum hari kiamat telah dipahami para ulama dan aktivis Islam. Mereka bergegas dan mencurahkan amal agar dapat memberikan andil dalam Kebangkitan Islam. Mereka beramal sesuai kemampuan dan keahlian mereka, diantaranya dengan membentuk atau menggabungkan diri dalam Gerakan Islam. Namun perbedaan ijtihad dalam strategi amal telah membuat putra putri Kebangkitan Islam sering berselisih jalan. Termasuk dalam hal ini ialah perbedaan ijtihad dalam strategi jihad qital (peperangan).

Gerakan Islam yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sekelompok muslim Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang beramal bersama (terdapat pola kepemimpinan atau tokoh-tokoh yang menjadi rujukan) untuk melakukan Tajdid (pembaharuan agama, berupa memurnikan ajaran Islam kembali ke Al Qur’an dan Sunnah).

Secara umum, saat ini ada dua arus pemikiran di antara ulama dan Gerakan Islam mengenai jihad.

Pertama, Jihad untuk Bela Diri.

“Alloh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8).

“… Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh).” (An Nisaa’: 91).

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi …” (QS. Al Hajj: 39).

Ayat-ayat di atas menjadi landasan bahwa jihad qital hanya dilakukan jika negara muslim diserang. Seperti muslim Palestina yang harus berjihad melawan invasi Israel, begitu pula muslim Irak dan Afghanistan yang harus berjihad melawan invasi Amerika dan sekutu-sekutunya. Karena itu jihad qital hanya terbatas di negeri-negeri yang sedang diserang tersebut, dan bukan di negeri-negeri muslim yang tidak dalam kondisi diserang.

Penduduk negeri-negeri muslim yang tidak dalam kondisi diserang, seperti Indonesia dan Malaysia, dapat membantu jihad Palestina, Irak, dan Afghanistan dengan datang ke negeri-negeri itu sebagai relawan jihad, atau bisa pula dengan bantuan harta dan dukungan moral.

Turunan lain dari pendapat ini ialah, jihad qital untuk menyerang suatu Darul Harbi (negara kafir yang memusuhi Islam) harus berdasarkan persetujuan Imam (secara umum dimaknai sebagai khalifah) dan dalam rangka da’wah menegakkan Kalimat Alloh sebagaimana yang terjadi di masa perluasan wilayah Islam oleh generasi Khulafaur Rasyidin.

Pendapat pertama ini dipegang mayoritas ulama dan Gerakan Islam, antara lain gerakan Ikhwanul Muslimin. Hal ini pula yang menyebabkan Ikhwanul Muslimin tidak pernah melakukan perlawanan bersenjata ketika mereka ditindas penguasa.

Kedua, Jihad Semesta.

”Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Alloh bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At Taubah: 123).

”Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, … (QS. Al Baqarah: 191).

Ayat-ayat di atas dijadikan landasan bahwa jihad qital boleh dilakukan terhadap setiap anggota atau warga negara Darul Harbi dimanapun mereka berada. Israel, Amerika, dan negara-negara yang tergabung dalam pasukan koalisi yang menginvasi Irak dan Afghanistan merupakan Darul Harbi. Maka setiap aset, kepentingan, dan juga warga negaranya berhak dihancurkan dan dibunuh baik yang berada di dalam negeri muslim yang sedang diserang maupun di luar negeri muslim yang sedang diserang.

Karena itu mereka yang memegang doktrin jihad semesta merasa berhak menghancurkan setiap aset serta membunuh warga negara Darul Harbi yang berada di Indonesia walaupun Indonesia tidak dalam kondisi diserang. Mereka juga menyatakan berhak melakukan perlawanan dengan penguasa thogut, yaitu pemerintahan negeri muslim yang tidak menggunakan hukum Islam.

Pemegang utama doktrin jihad semesta ini ialah Al Qaidah dengan jaringan Salafi Jihadi-nya.

Namun pendapat-pendapat mereka disanggah oleh para pemegang pendapat pertama yang menyebut pendapat kedua sebagai bentuk dari ekstrimisme jihad. Mereka antara lain menggunakan dalil: ”Dan perangilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Baqarah: 190).

Perbedaan pendapat mengenai strategi jihad tersebut menambah gesekan antar Gerakan Islam. Mulai dari fitnah bughat (pemberontak) di negeri-negeri muslim, pertikaian di medan jihad, sampai pengkafiran terhadap sesama Gerakan Islam.

II. Runtuhnya Daulah Turki Utsmani dan Berdirinya Ikhwanul Muslimin

Setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924 M, bermunculanlah gerakan sekulerisme di negeri-negeri muslim dan tampil golongan yang berkiblat ke Barat. Seruan agar mencontoh Barat oleh Kamal Attaturk bertiup kencang dan tidak ada henti. Para nasionalis mendesak pemerintahan Mesir agar kembali ke puncak kejayaan Firaun dan menimba adat-adat bangsa Mesir purba. Para ulama hanya mampu melabelkan murtad pada mereka. Keadaan diperparah dengan para ulama pencinta dunia yang begitu mudah dipermainkan pemerintah thoghut. Kondisi seperti inilah yang mencetuskan berdirinya Ikhwanul Muslimin (Ikhwan) di kota Ismailiyah, Mesir pada tahun 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna, Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi.

Ikhwanul Muslimin menjadi simpul penting karena selain menjadi sumber inspirasi dan mewarnai pemikiran Gerakan Islam lainnya, dari Ikhwan keluar pula beberapa Gerakan Jihad yang berseberangan dengan Ikhwan dan meretas Fikroh Jihad Semesta. Ikhwan pun menjadi studi kasus faktual terhadap dilema Gerakan Islam dan Penindasan Penguasa

Penindasan oleh penguasa thogut di negeri-negeri muslim, telah melahirkan perbedaan sikap di antara Gerakan Islam. Sebagian menjawabnya dengan dakwah dan kesabaran, sebagian lagi menjawabnya dengan jihad dan perlawanan bersenjata. Hal inilah yang menimbulkan fitnah bughat (pemberontak) dan teroris di negeri-negeri muslim. Situasi diperparah oleh manuver intelijen lokal dengan komprador intelijen asing yang merekayasa kekerasan sebagai legitimasi pemberangusan Gerakan Islam.

Ikhwanul Muslimin (Ikhwan) merupakan salah satu Gerakan Islam yang banyak mengalami penindasan penguasa thogut. Diantaranya tahun 1948, saat Ikhwan terlibat dalam perang melawan Israel di Palestina. Inggris kemudian menekan pemerintah Mesir untuk menarik pulang relawan jihad Ikhwan di Palestina. Kepulangan relawan Ikhwan pun disambut oleh penangkapan. November 1948, Muhammad Fahmi Nagrasyi (perdana menteri Mesir) langsung membekukan organisasi Ikhwan, menyita harta kekayaannya, serta memenjarakan ribuan anggota Ikhwan. Desember 1948, Fahmi Nagrasyi diculik dan dibunuh. Ikhwan dituduh sebagai pelaku, namun Ikhwan membantah dan tidak ada bukti serta peradilan yang mendukung tuduhan tersebut. Februari 1949, Hasan al-Banna terbunuh oleh penembak misterius di jalan raya Kairo.

Tahun 1950, pemerintah Mesir merehabilitasi organisasi Ikhwan. Parlemen Mesir dipimpin Mustafa an-Nuhas Pasha memutuskan bahwa pembekuan Ikhwan tidak sah dan inkonstitusional. Juli 1952, militer Mesir merangkul Ikhwan untuk menggulingkan kekuasaan monarki Raja Faruk pada Revolusi Juli. Setelah Revolusi Juli berhasil, Ikhwan menolak masuk dalam pemerintahan karena Republik Mesir yang dibentuk ternyata tidak menjadikan Islam sebagai landasan, melainkan didominasi oleh kepentingan militer. Penolakan Ikhwan telah melemahkan legitimasi Revolusi Juli sehingga Ikhwan kembali dibenci penguasa.

Desember 1954, Presiden Gamal Abdul Nasser menjadi sasaran percobaan pembunuhan di lapangan Mansyiyyah, Iskandariyyah. Kejadian ini dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menghancurkan Ikhwan. Ikhwan dituduh sebagai pelaku walaupun Ikhwan berkali-kali membantah dan tidak ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut. Ribuan anggota Ikhwan dijebloskan dalam penjara dan menjalani berbagai penyiksaan, 6 aktivis Ikhwan juga digantung hingga mati. Hasan al-Hudhaibi (Mursyid ‘Al-Mahdi Al-Ikhwan al-Muslimun) seorang ahli hukum di Mesir, berkali-kali ditangkap dan mengalami penyiksaan. Tahun 1954 ia divonis hukuman mati, tetapi kemudian diringankan menjadi seumur hidup akibat berbagai protes dari dalam dan luar negeri. Tahun 1971 akhirnya ia dibebaskan.

Tahun 1961, Nasser yang didukung Uni Sovyet, membuat Komite Khusus untuk melenyapkan Ikhwan dari Mesir melalui undang-undang dan militer. Ribuan Ikhwan termasuk akhwat muslimah ditangkap dan disiksa dengan tidak diberi kesempatan membela diri di mahkamah. Tahun 1966, tiga tokoh Ikhwan dihukum gantung, yaitu Sayyid Quthb, Yusuf Hawwas dan Abdul Fattah Ismail. Sayyid Qutb merupakan ulama dan penulis terkenal di dunia Arab. Adiknya, Muhammad Qutb yang juga seorang penulis, serta dua adik perempuannya, Aminah dan Hamidah Qutb pun turut dipenjara bertahun-tahun lamanya. Sejak itu Ikhwan bergerak secara rahasia sampai Nasser meninggal pada September 1970.

Anis Matta dalam artikel “Ada Orang Lain di Tengah-Tengah Kita” (http://oaseislam.com/, Juni 2004) menyatakan bahwa Gamal Abdul Nasser, disamping seorang perwira tinggi militer, juga merupakan kader Ikhwan. Selama masa perencanaan revolusi, rumah Sayyid Quthb menjadi salah satu pusat pertemuan para tokoh perancang Revolusi Juli. Itu sebabnya Nasser selalu memanggilnya dengan sebutan abang. Setelah menjadi presiden, Nasser bahkan menawarkan jabatan apa pun yang diinginkan Sayyid Quthub. Tapi 14 tahun kemudian, Nasser pulalah yang menggantung seniornya tersebut.

Ironi tersebut terulang kembali pada gerakan Ikhwan di Sudan. Tahun 1989 Jenderal Umar al-Bashir melakukan kudeta tak berdarah atas pemerintahan Ja’fa Numeri. Kudeta ini didukung pemimpin gerakan Ikhwan di Sudan, yaitu Dr. Hassan Turabi (ketua parlemen saat itu dan ketua Partai Kongres Nasional). Karena Dr. Hassan Turabi besar pengaruhnya terhadap parlemen maupun rakyat, maka pada Desember 1999 Jenderal al-Bashir membubarkan parlemen dan memenjarakan Dr. Hassan Turabi. Untuk mengamankan kekuasaannya, Jenderal al-Bashir meminta dukungan Mesir dan Libya.

Pejabat teras Ikhwan di Indonesia, seperti Hilmy Aminuddin dan Anis Matta, sangat bersemangat mengusung tokoh dari kalangan militer dan polisi. Mereka mendahulukan Adang Daradjatun (petinggi polisi) daripada kader internalnya sendiri dalam pencalonan gubernur Jakarta. Begitu pula dalam pencalonan presiden Indonesia. Mereka tidak mengambil pelajaran dari kasus Nasser dan Umar al-Bashir.

Ketika Anwar Sadat berkuasa, orang-orang Ikhwan mulai dilepaskan secara bertahap. Sadat juga berasal dari militer dan dekat dengan Ikhwan. Awal pemerintahan Sadat ditandai dengan kebijakannya merangkul sebanyak mungkin kelompok-kelompok Islam. Hal ini untuk membendung pengaruh Nasserisme yang menyerukan nasionalisme Arab dengan pijakan pada ideologi sosialisme. Gerakan Nasserisme saat itu tidak hanya kuat di Mesir, tetapi juga di Syria dan Irak, dengan keberhasilan Partai Baath mengambil alih kekuasaan di dua negara tersebut. Di Libya, sosok Moammar Khadafi yang mengagumi Nasser juga berhasil mengambil alih kekuasaan. Di Aljazair, Kolonel Houari Boumedienne yang juga pengagum Nasser, berhasil melakukan kudeta dan menjadi presiden.

Sadat juga terlibat perang melawan Israel pada Oktober 1973. Saat itu dia tidak lagi mengusung nasionalisme Arab, melainkan mengibarkan bendera Islam. Ini kontras dengan perang Arab-Israel tahun 1967 pada masa Nasser berkuasa. Perang 1973 itu disusul aksi embargo minyak yang dilancarkan negara-negara Arab, khususnya negara-negara Teluk.

Saat itu Gerakan Islam mendapatkan peluang dari penguasa Mesir untuk tampil ke pentas perpolitikan nasional. Kondisi bulan madu pemerintah dan Gerakan Islam itu berakhir akibat terjadi kesepakatan damai Israel dan Mesir yang difasilitasi Amerika Serikat melalui Perjanjian Camp David tahun 1979. Perjanjian Camp David adalah buah pragmatisme Sadat. Sadat menyatakan bahwa kemakmuran akan dicapai dengan adanya perdamaian.

Kalangan Gerakan Islam melihat bahwa Perjanjian Camp David hanya menjadikan Mesir tunduk pada Amerika. Tidak ada perkembangan kemakmuran yang dirasakan oleh masyarakat. Perjanjian Camp David membuat Gerakan Islam kembali dikhianati. September 1981, pemerintahan Sadat menetapkan undang-undang subversi al-fitnah al taifiyyah. Kembali aktivis Ikhwan mengalami penangkapan.

Berpegang pada konsep Jihad untuk Bela Diri, maka kekerasan bukanlah jalan perjuangan Ikhwanul Muslimin, kecuali jika negara tempat Ikhwan berada, terancam penjajahan dari bangsa lain. Seperti Hamas yang merupakan perpanjangan tangan Ikhwanul Muslimin di Palestina. Selain mengikuti proses pemilu (demokrasi), Hamas juga melakukan perlawanan bersenjata untuk memerdekakan Palestina dari penjajahan Israel. Karena itulah, meskipun berkali-kali ditindas, Ikhwan di Mesir tetap tidak melakukan pemberontakan dan perlawanan bersenjata. Pemerintah Mesir tetap dianggap sebagai bagian dari umat Islam, dan bukan kafir harbi yang boleh diperangi.

Namun sikap Ikhwan tersebut dianggap terlalu akomodatif atau teramat lembek menghadapi kekuasaan rezim-rezim di Timur Tengah. Muncullah gerakan-gerakan yang merupakan refleksi sikap tidak puas terhadap Ikhwan dalam menghadapi pemerintah thogut, seperti Jamâ’ah al-Takfîr Wa al-Hijrah, Tanzim Jihad dan Jamaah Islamiyah. Gerakan-gerakan itu disebut sebagai sempalan Ikhwanul Muslimin karena banyak tokoh-tokohnya yang berasal dari Ikhwan namun kemudian berbeda pandangan dengan sikap resmi pimpinan Ikhwan. Masyarakat Mesir pada umumnya menyayangkan aksi dari gerakan-gerakan sempalan tersebut. Aksi-aksi mereka dianggap hanya memperburuk situasi.

Tahun 1973, muncul Jamâ’ah al-Takfîr Wa al-Hijrah dipimpin Ahmad Shukri Mustafa. Dia adalah anggota Ikhwanul Muslimin di Asyut yang dipenjara pada tahun 1965. Ketika dibebaskan pada tahun 1971, ia mulai mematangkan pembentukan Jama’ah al-Takfir wa al-Hijrah. Shukri Mustafa sangat ditaati pengikutnya, ia menjadikan Jama’ah Takfir sebagai organisasi yang sangat disiplin. Karena terlibat pembunuhan seorang mantan Menteri, Shukri Mustafa akhirnya ditangkap dan dieksekusi pada tahun 1978.

Landasan pokok Jama’ah al-Takfir wa al-Hijrah adalah pengkafiran (al takfîr), berhijrah (al hijrah), kebersamaan (al jamâ’ah). Artinya, setiap masyarakat yang tidak menjalankan syari’at Islam, dianggap sebagai masyarakat jahiliah dan layak untuk dikafirkan. Karena itu setiap muslim yang taat menjalankan syariat Islam harus berhijrah dari masyarakat jahiliah tersebut. Akibatnya, kelompok ini mewajibkan setiap muslim bergabung ke dalam kelompoknya, dan yang menolak dianggap telah kafir.

Tanzim Jihad dan Jamaah Islamiyah dirintis pada akhir dekade 1970-an. Mereka lebih menonjol daripada Jama’ah al-Takfir wa al-Hijrah dan tidak bergantung pada seorang pemimpin kharismatik. Mereka pun berawal saat banyak anggota Ikhwan mengalami penangkapan dan penyiksaan. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abdus Salam Faraj, Karam Zuhdi, Abdul Qodir bin Abdul Aziz, Ayman Al-Zawahiri memutuskan bahwa usaha mendirikan negara Islam sudah bukan lagi melalui jalan dakwah melainkan harus melalui jalan jihad. Abdus Salam Faraj menulis kitab al Farîdah al Ghâibah yang menyatakan bahwa jihad untuk mendirikan negara Islam itu wajib hukumnya, sebab tujuan ke arah itu tidak bisa direalisasikan kecuali dengan jihad. Masyarakat mengenal gerakan mereka dengan beberapa nama seperti Jihâd, Jihad Islam, Jama’ah al-Jihad, ataupun Tanzim Jihad.

Tanzim Jihad berhasil membunuh presiden Anwar Sadat dalam sebuah parade militer Oktober 1981. Anwar Sadat dibunuh akibat menyetujui Perjanjian Camp David. Pemerintah Mesir lalu memburu dan menangkapi mereka sehingga sebagian ada yang lari ke luar Mesir dan ada pula yang bersembunyi menyusun kekuatan baru. Abdus Salam Faraj dieksekusi April 1982, sementara Abdul Qodir bin Abdul Aziz lari ke Pakistan. Di masa itulah sebagian dari mereka mengkonsolidasikan gerakannya menjadi lebih rapi, diantaranya Karam Zuhdi, dan diberi nama Jamaah Islamiyah. Sedangkan sebagian lainnya tetap berada dalam identitas Tanzim Jihad walaupun ikatan organisasinya tidak terlalu kuat.

Dr Abdul Qodir bin Abdul Aziz (nama asli Sayyid Imam, kadang dipanggil Dr Fadhel) menjadi direktur rumah sakit Bulan Sabit Merah Kuwait di Peshawar, Pakistan, dibantu oleh Dr Ayman Al-Zawahiri. Di Pakistan, elemen-elemen Tanzim Jihad berinteraksi dengan berbagai pemikiran dan tokoh yang terlibat dalam Jihad Afghan (1979 – 1989), diantaranya ialah Usamah bin Laden. Usamah adalah anggota keluarga konglomerat Saudi Arabia, datang ke Afghanistan bersama gelombang mujahidin Afghan Arab. Dia aktif mengumpulkan dana untuk kamp-kamp latihan militer bagi relawan yang ingin berjihad di Afghan.

Peshawar yang dekat perbatasan Pakistan-Afghanistan, menjadi tempat pertukaran ideologi. Pemikiran Abdullah Azzam banyak mempengaruhi pembentukan ideologi Usamah bin Laden, Ayman al-Zawahiri, dan banyak radikal Islam lainnya. Azzam adalah aktivis Ikhwanul Muslimin yang mencetuskan Jihad Semesta untuk membela Afghanistan dari invasi Uni Sovyet. Karena itulah Syaikh Abdullah Azzam sering disebut sebagai The godfather of jihad atau Bin Laden’s Spiritual Mentor. Dalam jurnal yang diterbitkan tahun 1987, Azzam menggunakan istilah “Al-Qaidah Al-Sulbah” atau “landasan yang solid”.

Paruh kedua dekade 1980-an, semakin banyak aktivis Tanzim Jihad dan Jamaah Islamiyah yang masuk Pakistan dan Afghanistan. Tahun 1987, tiba di Peshawar dan lalu masuk ke Afghanistan, tiga pimpinan Jamaah Islamiyah yaitu Muhammad Syauqi Islambuli (saudara kandung Muhammad Islambuli yang membunuh Anwar Sadat), Ali Abdul Fatah, dan Rifai Taha. Pemimpin senior Jamaah Islamiyah, Dr Sheikh Omar Abdurrahman, mengunjungi mereka dan kader-kader Jamaah Islamiyah lainnya di Peshawar tahun 1988 dan 1990.

Mereka terinspirasi pemikiran Syaikh Abdullah Azzam bahwa jihad Afghan harus melibatkan kekuatan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Namun Azzam membatasi perjuangan bersenjata hanya di tanah pertempuran, di mana musuh melawan dengan kekuatan senjata maka di tempat itu kita melawan dengan kekuatan senjata. Sementara Ayman Al-Zawahiri dan Usamah bin Laden bertindak lebih jauh, bahwa pertempuran dapat dilaksanakan di setiap tempat dan negara yang terdapat kepentingan atau aset negara yang memusuhi Islam. Usamah dan Ayman menginginkan satu gerakan bersenjata global, karena musuh memerangi kita di seluruh negara tanpa pandang bulu terhadap warga sipil tak bersalah, maka kita juga boleh membalas secara setimpal. Inilah awal terbentuknya Gerakan Jihad Global Al Qaidah.

Di Mesir, setelah berhasil melakukan konsolidasi, Jamaah Islamiyah kembali melancarkan serangkaian aksi, seperti bom di Kairo tahun 1993, percobaan pembunuhan terhadap presiden Mesir Husni Mubarak di Ethiopia tahun 1995, dan serangan terhadap wisatawan di Luxor tahun 1997. Pemerintah Mesir menahan ribuan anggota dan simpatisan Jamaah Islamiyah. Para pimpinan Jamaah Islamiyah akhirnya menerima gencatan senjata yang diajukan pemerintah Mesir sejak tahun 1997 dan 1999. Mereka pun mulai mengeluarkan buku-buku yang meralat pemikiran pro kekerasan yang pernah mereka lakukan, termasuk juga menyatakan penyesalan atas keterlibatan dalam pembunuhan Sadat. Pemerintah Mesir membalas dengan mulai membebaskan anggota Jamaah Islamiyah yang dipenjara, diantaranya Karam Zuhdi pada tahun 2003.

Anggota Jamaah Islamiyah yang berada di luar Mesir menolak kesepakatan gencatan senjata dengan pemerintah Mesir. Ayman Al-Zawahiri merangkul mereka dan mengumumkan bahwa Jamaah Islamiyah telah bergabung dengan Al Qaidah pada tahun 2006. Namun pimpinan Jamaah Islamiyah segera membantah klaim Ayman. Najeh Ibrahim, anggota Majelis Syuro Jamaah Islamiyah, bahkan menghimbau Al Qaidah dan Usamah Bin Laden untuk mengubah pemikiran dan sikapnya. Najeh Ibrahim mengkritik pandangan Usamah yang mengkafirkan semua penguasa Arab serta menganggap negara Arab sebagai darul harbi.

III. Jihad Semesta dan Jalan Panjang Jihad Afghan

Afghanistan menjadi saksi rantai perjuangan mujahidin mengusir penjajah asing. Afghanistan pun menjadi ladang ironi pertikaian antar Gerakan Islam di medan jihad. Jihad Afghanistan menjadi ladang persemaian doktrin Jihad Semesta dan membawa efek berantai ke berbagai negara muslim, termasuk Indonesia.

Jihad Afghanistan bermula dari kekacauan politik di Afghanistan, konflik internal kalangan komunis, dan akhirnya invasi Uni Soviet ke Afghanistan. Raja Zahir Khan (pro Barat) digulingkan oleh sepupunya (bekas Perdana Menteri) Mohammad Daud Khan pada Juli 1973. Daud memerintah secara otoritarian dengan dukungan militer dan komunis. Daud akhirnya dikudeta dan dibunuh kalangan komunis yang dipimpin Nur Mohammad Taraki pada April 1978. Desember 1978, para pemimpin komunis menandatangani kesepakatan aliansi dengan pemimpin Uni Soviet. Mereka menerapkan kebijakan pembaharuan agraria yang radikal, dan pemaksaan komunisme lewat penangkapan dan eksekusi.

Pemerintah pro Barat, otoritarian, dan komunis mendapat oposisi dari Islamis Afghan. Mereka terdiri dari aktivis perkotaan dan mahasiswa. Mayoritas masyarakat Afghan terdiri dari kelompok-kelompok agama yang tradisional, tinggal di desa, dengan warna kesukuan yang kuat, dan sering bersedia diajak kerjasama dengan rezim penguasa. Namun seiring semakin tingginya penindasan rezim komunis, kalangan Islamis berhasil mengambil dukungan dari mereka. Islamis Afghan diinspirasikan oleh Ikhwanul Muslimin, pendirinya banyak yang belajar di Mesir. Mereka muncul pertama kali di Universitas Kabul akhir 1950-an dan perlahan berkembang pada 1960-an, ketika buku-buku Abul A’la Al-Maududi (pendiri Jamaat-e-Islami, Pakistan) dan Sayyid Quthb diterjemahkan. Tahun 1968, Organisasi Pemuda Muslim didirikan dan mulai memenangkan pemilu di kampus-kampus pada 1970-an.

Konflik internal kalangan komunis membuat Uni Soviet ikut campur secara langsung. Soviet mengirimkan tentara dan mendudukkan Babrak Karmal sebagai pemimpin baru Afghanistan pada Desember 1979. Rezim komunis bentukan Uni Soviet dipimpin oleh Babrak Kamal (1979-1986), kemudian Najibullah (1986-1992). Pemerintah Afghanistan mengawali penerapan faham komunis di sekolah-sekolah yang kemudian ditentang para Mullah dan Maulawi (guru agama atau ulama) dan juga para aktivis muslim dari kalangan mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi. Sekitar akhir dekade 1970-an terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen universitas yang kemudian diikuti para maulawi di daerah-daerah pedalaman yang bertujuan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Demonstrasi tersebut kemudian berujung dengan pemberontakan bersenjata yang dimulai dengan senjata-senjata lama dan senjata-senjata yang dirampas dari aparat. Perjuangan Mujahidin Afghanistan bukan lagi menghadapi kekuatan tentara pemerintah Afghanistan tetapi mereka berhadapan langsung dengan tentara Sovyet.

Mujahidin Afghan terdiri dari beberapa faksi atau organisasi. Faksi-faksi ini umumnya terbentuk dari ikatan suku atau klan. Di antaranya adalah Jamiat-i-Islami yang dipimpin Prof Burhanuddin Rabbani, lulusan al-Azhar, berusaha menjalin kerjasama dengan ulama tradisional dan intelektual non-Komunis lainnya, tetapi tidak disukai Saudi Arabia dan kurang memperoleh dukungan luar negeri, panglimanya ialah Ahmad Shah Massoud.

Ittihad-e-Islamiy dipimpin Prof Abdur Rabbir Rasul Sayyaf, lahir di Kabul tahun 1945, alumni Universitas Kabul dan Universitas Al Azhar Mesir, menjadi dosen fakultas Syariah di Universitas Kabul dan wakil ketua Ikhwanul Muslimin Afghanistan yang dipimpin Burhanuddin Rabbani. Tahun 1974 Sayyaf ditangkap dan divonis hukuman seumur hidup, namun tahun 1980 Sayyaf berhasil lolos dari penjara, beliau kemudian ditetapkan menjadi pimpinan Ittihad-e-Islamiy. Dialah di antara para tokoh mujahidin yang menghindari secara langsung konflik antar faksi mujahidin Afghanistan, pasca terusirnya pasukan Uni Soviet.

Hizbi-e-Islamiy (Hizbi Islami-Gulbuddin) dipimpin Ir Gulbuddin Hekmatyar. Hizbi-e-Islamiy (Hizbi Islami-Khalis) dipimpin Maulawi Yunus Khalis. Selain itu masih ada beberapa faksi lain, seperti faksi pimpinan Prof Sibghatullah Mujaddidiy, faksi pimpinan Abdul Karim Khalili, faksi pimpinan Mohammad Nabi, faksi pimpinan Ahmad Gailani, faksi pimpinan Mohammad Akbar, serta faksi pimpinan Mohammed Asif Mohseni.

Jihad Afghanistan lebih merupakan inisiatif jaringan Islam transnasional daripada insiatif negara-negara muslim. Syria, Yaman Selatan, PLO, dan Aljazair merupakan sekutu Uni Sovyet. Sehingga KTT OKI di Saudi Arabia Januari 1981 tidak memperoleh kesepakatan mengenai langkah bersama terhadap invasi Soviet. Padahal mereka bersepakat untuk membebaskan Jerussalem dan Palestina. Adalah Syaikh Abdullah Azzam, tokoh yang menggemakan bahwa jihad di Afghanistan adalah jihad universal, tanggung jawab umat Islam di seluruh dunia. Pemuda-pemuda Islam dari berbagai negara terpanggil oleh fatwa-fatwa Abdullah Azzam, dan bergabung dengan mujahidin Afghan. Dr Abdullah Azzam dilahirkan tahun 1941 di utara Palestina. Beliau menjadi anggota Ikhwanul Muslimin sejak usia muda, memperoleh Ijazah Master dalam bidang Shariah dari Universitas Damaskus, serta Ijazah Doktor dalam bidang Ushul al-Fiqh dari Universitas al-Azhar di Mesir. Azzam menjadi dosen di Universitas Amman, Yordania serta Universitas King Abdul Aziz, Saudi Arabia. Tahun 1979, Azzam pindah ke Pakistan menjadi dosen Universitas Islam Internasional di Islamabad, namun beliau memutuskan berhenti menjadi dosen agar fokus dalam amal jihad. Azzam wafat November 1989 di Peshawar, Pakistan, bersama dua orang anak lelakinya akibat bom yang dipasang musuh-musuhnya.

Peshawar di provinsi Northwest Frontier, Pakistan, tempat kamp-kamp pengungsi dan latihan perang, berkumpul di sana sekitar 3 juta pengungsi Afghanistan, juga berbagai kalangan mujahidin internasional. Tahun 1974, Jenderal Yahya Khan dikudeta Zulfikar Ali Butho. Juli 1977, Jenderal Zia ul Haq mengambil alih kekuasaan dan Ali Butho dihukum gantung April 1979. Zia ul Haq menerapkan Syariah Islam di Pakistan pada tahun 1979. Ia pengagum Maududi dan didukung oleh Jamaat-e-Islami (saat ini Jamaat-e-Islami merupakan salah satu oposisi utama pemerintah sekuler Pakistan). Presiden Zia ul Haq dan Jamaat-e-Islami memberi perhatian dan fasilitas yang luar biasa terhadap pejuang Afghan dan mujahidin internasional. Presiden Zia ul Haq menyediakan pesawat khusus ketika pemimpin Ikhwanul Muslimin, Muhammad Hamid Abu Nasser, mengunjungi Pakistan dan kota Peshawar untuk mengontrol para pejuang Ikhwan. Mustafa Masyhur pun sering bolak-balik Kairo-Peshawar. Namun Agustus 1988, Zia ul Haq beserta beberapa pejabat militer Pakistan tewas dalam ledakan pesawat udara. Sampai saat ini peristiwa tersebut dicurigai sebagai sabotase terhadap kepala negara yang pro Islam.

Dana bantuan Amerika Serikat (AS) untuk Pakistan dihentikan tahun 1977 akibat kudeta atas Zulfikar Ali Bhutto. Namun sejak naiknya Ronald Reagan sebagai Presiden AS (1981–1989), dia melihat Afghanistan merupakan kesempatan untuk membalas kekalahan AS di Vietnam. Amerika lantas menawarkan paket bantuan dana dan peralatan militer ke Pakistan, menjadikan Pakistan sebagai penerima terbesar ketiga bantuan AS, setelah Israel dan Mesir. Saudi Arabia sebagai sekutu Amerika pun memberi dukungan, selain untuk mengantisipasi popularitas Revolusi Islam Iran, juga untuk mengalihkan ancaman Islam militan di dalam negeri, sehingga Saudi pun turut mendukung keberangkatan relawan jihad Arab ke Afghan (Mujahidin Afghan Arab).

CIA tidak memainkan perang langsung dalam operasi ini. Persenjataan bantuan Amerika diturunkan di pelabuhan Karachi. ISI (Inter-Service Intelligence) Pakistan yang menindaklanjuti dan menjadi perantara dengan mujahidin. Direktur ISI, Jenderal Abdul Rahman Akhtar (bertugas 1979-1987), dan penggantinya, Jenderal Hameed Gul, serta kepala Kementerian Intelijen Saudi Arabia, yaitu Pangeran Turki al-Faisal memainkan peran penting dalam proses ini. Usamah bin Laden pernah berhubungan dengan Jenderal Hameed Gul, karena itu Usamah sering dianggap ikut merasakan fasilitas CIA.

Tahun 1989, Soviet mundur dari Afghanistan. Mujahidin Afghanistan melanjutkan perjuangannya menghadapi pasukan pemerintah komunis Afghanistan yang dipimpin Najibullah. Tahun 1992, pasukan gabungan Mujahidin menduduki Kabul (Futuhat Kabul) serta menggulingkan Najibullah. Prof Sibghatullah Mujaddidiy kemudian menjadi Presiden Interim selama 2 bulan (28 April 1992 – 28 Juni 1992) untuk mempersiapkan pemilihan Presiden Pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan. Tanggal 28 Juni 1992 terpilihlah Burhanuddin Rabbani sebagai Presiden, kemudian dideklarasikan bahwa nama negara ialah Dowlat-e Eslami-ye Afghanestan (Islamic State of Afghanistan) yang akan menjadikan Syariah sebagai sumber hukum. Sedangkan wakil presiden ialah Mohammad Nabi.

Gulbuddin Hekmatyar menentang kepemimpinan Rabbani, ia kemudian menyerang dan membombardir Kabul. Inilah puncak perpecahan faksi-faksi Mujahidin. Sementara faksi-faksi yang mendukung Rabbani pun sulit dikendalikan. Hampir setiap faksi memiliki penarik pajak yang meminta uang dari masyarakat sementara banyak wilayah yang tidak terjaga keamanannya. Belum lagi pihak-pihak pro komunis yang ternyata mendapat ampunan dari pemerintahan Rabbani, seperti Najibullah dan Abdul Rashid Dostum. Rasul Sayyaf pun tidak bersedia bekerjasama dengan Dostum.

Dostum adalah pemimpin militer Afghan yang pro Soviet, pasukannya mayoritas dari suku Uzbek. Dostum merupakan oportunis kejam yang sering dikecam lembaga HAM internasional. Menjelang futuhat Kabul tahun 1992, Dostum menggabungkan diri dengan Ahmad Shah Massoud. Dostum dan Massoud membela pemerintahan Rabbani melawan pasukan Hekmatyar. Tahun 1994 Dostum membelot ke Hekmatyar, memerangi Rabbani dan Massoud.

Situasi pasca perang dengan perekonomian yang hancur membuat banyak penjahat berkeliaran sementara faksi mujahidin lebih sering bertikai antar sesamanya. Saat inilah Gerakan Taliban memperoleh popularitasnya. Gerakan Taliban (dari kata thalib/pelajar) berasal dari para pelajar, guru, dan lulusan madrasah-madrasah yang terdapat di perbatasan Pakistan-Afghanistan. Kebanyakan anggotanya dari etnis Pashtun yang merupakan etnis mayoritas di Afghanistan dan tersebar pula di Pakistan. Mereka awalnya adalah para pengungsi, tidak ikut membentuk kelompok jihad melawan Sovyet dan Komunis Afghan, namun sebagian berjihad di bawah komando faksi-faksi mujahidin. Saat Sovyet tersingkir, mereka pulang dengan membawa senjata dan kemampuan tempur.

Tahun 1994, Mullah Muhammad Umar dengan sekelompok Taliban berhasil menumpas gerombolan perampok dan penculik wanita di Kandahar, Afghanistan Selatan. Kemudian semakin banyak Taliban yang bergabung dengan mereka. Berkembanglah euforia penduduk Kandahar, lantas mereka menurunkan gubernur Kandahar yang berada di bawah pemerintahan Rabbani, karena ia tidak mampu menghadapi para perampok. Akhirnya diadakanlah pertemuan dengan dihadiri para ulama yang mendeklarasikan gerakan Taliban dengan Mullah Muhammad Umar sebagai Amirul Mukminin, dan diberlakukan syariah Islam di Kandahar.

Benazir Bhutto, perdana menteri Pakistan yang pro-Barat, melakukan manuver dengan segera mendukung gerakan Taliban. Begitu pula Saudi Arabia, Pangeran Turki al-Faisal, kepala badan intelijen Saudi Arabia, berulang kali terbang ke Afghanistan untuk memenuhi kebutuhan Taliban. Latar belakang Rabbani sebagai anggota Ikhwan dianggap membahayakan kepentingan rezim pro status quo Saudi Arabia dan Pakistan. Setelah Rabbani terpilih sebagai presiden Afghanistan, pemerintah Pakistan meminta semua kelompok Mujahidin Afghan untuk mengosongkan kamp-kamp yang berada di wilayah Pakistan. Dari wilayah-wilayah perbatasan tersebutlah Taliban memperoleh pasokan logistik dan jalur awal penyerangan. Taliban telah menggunakan artileri, tank, dan pesawat tempur di periode awal penyerangan ke pos Mujahidin Afghan di wilayah Selatan Afghanistan.

Taliban memulai serangan secara masif pada September 1994. Dalam tuntutannya, Taliban menolak sikap pemerintahan Rabbani yang memberi ampunan (amnesty) kepada Najibullah. Pemerintahan Rabbani pun dianggap tidak melaksanakan hukum syariah dengan benar. Taliban juga mencela sikap para pemimpin faksi Mujahidin yang saling memperebutkan jabatan dan wilayah. Taliban meyakini bahwa menurut Islam hanya ada satu kelompok yang boleh mengatur negara sehingga Taliban ingin menjadikan Afghanistan dipimpin satu organisasi, yaitu Taliban.

Saat itu Rabbani masih disibukkan dengan serangan pasukan Hekmatyar. Rabbani pun menawarkan Taliban untuk menjadi gerakan agama yang melakukan amar makruf dan nahi munkar. Namun dukungan Pakistan dan Saudi Arabia membuat Taliban semakin bersemangat melakukan serangan. Mulailah Taliban menaklukkan kawasan-kawasan Afghanistan. Puluhan kota hancur dan rata dengan tanah, seperti kota Qrah Bagh, Mirbisyakut, Kalkan, Estalef, Qarzan, Goldram, Syakrdram, Khoji Ghar.

Kemunculan Taliban berada pada momen yang tepat. Struktur kekuasaan komunis telah hancur, kepemimpinan kesukuan tradisional sudah melemah, sementara para pemimpin mujahidin yang berkuasa telah kehilangan kepercayaan masyarakat. Tampilan pejuang Taliban yang didominasi Thalib, Mullah dan Maulawi, membuat masyarakat Afghan menghormati mereka. Menguatnya pengaruh Taliban berasal dari dukungan kelompok-kelompok mujahidin yang kecewa terhadap pemerintahan Rabbani. Dengan menjanjikan keamanan, penerapan syariah, dan pemberantasan para komunis, Taliban memperoleh simpati yang luas dari para komandan Mujahidin.

Seperti faksi Syaikh Yunus Khalis dan faksi Maulawi Jalaluddin Haqqani, mereka bahkan mengeluarkan fatwa bahwa memerangi Dostum adalah jihad antara Muslim dan kafir ateis, serta membantu Taliban dengan jiwa dan harta adalah suatu kewajiban. Sebagian komandan faksi Rasul Sayyaf pun enggan untuk berperang melawan Taliban. Sedangkan Hekmatyar tetap berperang mempertahankan wilayahnya dari serangan Taliban. Namun pasukan Hekmatyar dan pasukan Massoud (menteri pertahanan Rabbani) sudah terlalu lelah. Taliban pun akhirnya berhasil menduduki Kabul pada September 1996. Presiden Rabbani kemudian menyingkir ke wilayah utara Afghanistan. Dengan bantuan Russia, Iran, dan India, Dostum pun dapat bertahan di utara Afghanistan dan menguasai wilayah sendiri, termasuk mengeluarkan mata uang sendiri dan memiliki maskapai Balkh Air. Taliban lalu memproklamirkan Pemerintahan Taliban. Eksekusi yang pertama dilakukan adalah membunuh mantan presiden Afghanistan, Najibullah, yang digantung di pasar kota Kabul.

Ketika Rabbani terpilih menjadi presiden Afghanistan, para mujahidin internasional mulai meninggalkan Afghanistan. Sebagian karena merasa tugasnya sudah selesai, sebagian lagi karena tidak mau ikut campur dalam konflik antar faksi mujahidin. Sebagian dari mereka kembali ke negaranya masing-masing, sebagian lainnya memilih negeri-negeri yang pemerintahnya tidak terlalu menindas. Sebagai veteran Afghan, mereka selalu dicurigai oleh rezim-rezim diktator di negeri mereka sendiri. Ada pula yang mulai mencari medan jihad lainnya. Saat Taliban memulai penyerangan, mujahidin internasional pun umumnya memilih untuk tidak terlibat pertempuran agar terhindar dari fitnah membunuh sesama muslim.

Kemudahan akses dari Saudi Arabia dan keseriusan Taliban dalam menerapkan Syariah membuat mujahidin Afghan Arab kembali ke Afghanistan. Mereka bahkan turut membantu mempertahankan kota Kabul ketika pasukan Massoud menyerang pada tahun 1997. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi faksi mujahidin dari kalangan Ikhwan. Mujahidin Afghan Arab adalah murid-murid Abdullah Azzam (aktivis Ikhwan), namun mereka memerangi mujahidin dari lingkaran Ikhwan. Rasul Sayyaf sempat menyampaikan agar mereka mengikuti Al Qur’an (QS. Al Hujuraat: 9), yaitu damaikan dahulu dua pihak mukmin yang berselisih, lakukan klarifikasi, dan bukan langsung memerangi salah satu pihak. Inilah salah satu sebab mujahidin dari lingkaran Ikhwan bersedia berkoalisi dengan Amerika pada tahun 2001 untuk menjatuhkan Taliban.

Oktober 1997, Taliban mengubah nama negerinya menjadi Emirat Islam Afghanistan, dengan Mullah Umar sebagai kepala negara. Sebagian besar pendukung Taliban awalnya telah menyatakan loyalitas pada pemerintahan Rabbani. Banyak menteri pemerintahan Taliban adalah mujahidin yang bergabung bersama Rabbani secara struktural. Dewan pemerintahan Taliban (Majelis Syura Kabul) dipimpin Mullah Mohammad Rabbani, sementara Majelis Syura Militer dipimpin Mullah Umar. Otoritas tertinggi berada pada Majelis Syura Tertinggi Taliban di Qandahar dan di tangan Mullah Umar sendiri. Keanggotaan majelis ini didominasi oleh sahabat Mullah Umar yang kebanyakan berasal dari suku Pashtun. Anggotanya terdiri dari 10 orang, tetapi pertemuannya juga dihadiri oleh pemimpin militer, pemuka suku, dan ulama. Majelis syura inilah yang pada April 1996 mengumumkan perang terhadap pemerintahan Rabbani (”Ullema Declare Jihad against Rabbani,” The Nation, April 4, 1996).

Taliban memberlakukan syariah tanpa proses legislasi, kebanyakan hanya diumumkan lewat dekrit, dari Mullah Umar sendiri atau melalui Mulllah Qalam al-Din (Kepala Departemen Amar Makruf Nahi Munkar sekaligus Kepala Polisi Keagamaan) yang disiarkan melalui Radio Syariah (sebelumnya bernama Radio Kabul). Dekrit-dekrit ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Orang yang mempertanyakan dekrit-dekrit tersebut berarti mempertanyakan Islam. Salah satu dekrit yang paling terkenal adalah “Enam Belas Regulasi,” yang diumumkan Mullah Qalam al-Din lewat Radio syariah di Kabul pada Desember 1996. Dekrit ini berisi peraturan: (1) Larangan wanita tanpa hijab; (2) Larangan mendengar musik; (3) Larangan mencukur dan menggunting janggut; (4) Larangan memelihara burung dara dan bermain dengan burung; (5) Larangan bermain layang-layang dan penutupan toko layang-layang; (6) Larangan berhala, lukisan, dan potret; (7) Larangan berjudi; (8) Larangan menggunakan dan memperdagangkan candu; (9) Larangan model rambut gondrong Amerika dan Inggris; (10) Larangan bunga bank dan praktek riba; (11) Larangan bagi wanita mencuci pakaian di tepi sungai di kota; (12) Larangan memutar musik dan berdansa dalam pesta perkawinan; (13) Larangan bermain drum musik; (14) Larangan bagi penjahit pria menjahitkan baju wanita dan mengukur badan wanita untuk pakaian yang akan dijahit; (15) Larangan ramal-meramal; dan (16) Larangan meninggalkan shalat, serta perintah shalat berjamaah.

Taliban melarang seluruh kelompok oposisi, partai politik dan serikat-serikat dagang. Universitas Kabul ditutup dan seluruh staf pengadilan diberhentikan, mulai dari hakim sampai petugas kebersihan. Penutupan sekolah-sekolah untuk kaum wanita dilakukan hingga sistem pendidikan yang bebas dari pengaruh Barat bisa dibangun. Walaupun Taliban menghukum pecandu dan pedagang opium, namun sebagian besar pendapatan negaranya berasal dari perdagangan opium. Pemerintah Taliban memungut 10% zakat dari para petani opium. Hingga akhirnya pada tahun 2001, Mullah Mohammad Umar melarang secara total opium.

Setelah menguasai sekitar 80% wilayah Afghanistan secara de facto, hanya tiga negara yang mengakui pemerintahan Taliban, yakni Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Pakistan. Tetapi dukungan ketiga negara ini dicabut menjelang kejatuhan Taliban tahun 2001. Taliban berkuasa di Afghanistan sekitar lima tahun (1996-2001). Kedekatan Taliban dengan Al Qaidah menjadi awal kejatuhan Taliban.

Perang Afghanistan (2001-sekarang) dimulai pada Oktober 2001. Setelah serangan WTC 11 September 2001, Amerika Serikat memulai kampanye Perang Melawan Terorisme di Afghanistan, dengan tujuan menggulingkan Taliban, yang dituduh melindungi Al Qaidah, serta untuk menangkap Usamah bin Laden. Amerika tidak berani maju sendiri, maka ia pun menggalang kekuatan dari NATO dan negara-negara lain, seperti Inggris, Perancis, Belanda, dan Australia. Amerika pun menghimpun lawan-lawan Taliban di utara Afghanistan yang bergabung membentuk Aliansi Utara.

Di tengah memanasnya hubungan Afghanistan-Amerika, Saudi Arabia dan Pakistan lebih memilih Amerika. Saudi Arabia menarik dukungan pada Taliban dan membatalkan semua rencana bantuannya, hal ini dilakukan juga oleh Uni Emirat Arab. Rezim Pakistan mulai dari Benazir Bhutto, Nawaz Sharif, dan Pervez Musharraf memberikan dukungan bagi Taliban. Dengan adanya kampanye Perang Melawan Terorisme yang Amerika canangkan, Musharraf akhirnya berbalik arah dan ikut memusuhi Taliban. Bahkan Musharraf pun memecat kepala intelijen Pakistan, Mahmoud Ahmed, yang dianggap lebih simpati pada kelompok Islam.

Perang Melawan Terorisme di Afghanistan selain dipicu oleh serangan 11 September, juga dikarenakan kepentingan Amerika dan Pakistan atas jalur transportasi minyak dan gas alam di Afghanistan yang tak kunjung tercapai. Kyrgiztan dan Uzbekistan disebut-sebut mempunyai deposit migas yang sangat besar dan baru sebagian kecil yang dieksplorasi. Persoalan yang dihadapi perusahaan penambangan di sini adalah memasarkan komoditas tersebut. Pakistan menghendaki agar negaranya menjadi terminal utama, dengan membangun pipa migas melalui Afghanistan. Namun ternyata Taliban menolak perusahaan-perusahaan minyak Amerika yang mau menanamkan pipa minyak melalui Afghanistan ke Pakistan.

Dostum, Mohammad Qasim Fahim, dan Ismail Khan menjadi pimpinan pasukan Aliansi Utara. Rabbani memihak ke PBB dan Amerika sehingga bergabung dengan Aliansi Utara. Sedangkan Hekmatyar memilih bergabung dengan Taliban. Aliansi Utara terdiri dari berbagai elemen, selain sering tidak akur antar sesamanya, aksi brutal yang dilakukan salah satu elemen pun akan dipandang sebagai aksi bersama seluruh elemen. Seperti saat Dostum membantai sekitar dua ribu tawanan Taliban yang menyerah di Kunduz. Rabbani dan Sayyaf menolak perbuatan tersebut namun citra mereka tetap jatuh di kalangan mujahidin internasional. Dostum sendiri kerap bertempur dengan sesama faksi di Aliansi Utara, seperti saat perebutan otoritas atas Mazar-i Sharif dengan pasukan suku Tajik yang dipimpin Atta Mohammed Noor.

Bergabungnya Ikhwan Afghan dengan Amerika dan kedekatan Ikhwan dengan Dostum membuat Ikhwan Afghan dimusuhi mujahidin internasional. Dostum sering bolak balik ke Turki ketika menghadapi krisis di Afghanistan, seperti ketika Dostum melakukan penculikan dan kekerasan politik di tahun 2008, padahal Turki adalah negara yang pemerintahannya dipimpin tokoh-tokoh Ikhwan. Agustus 2009, Dostum kembali ke Kabul untuk menjadi tim sukses Hamid Karzai dalam pemilu Afghanistan.

Setelah Taliban tersingkir dari Kabul, Amerika pun menempatkan Hamid Karzai sebagai presiden boneka. Karzai menghidupkan kembali struktur kepemimpinan kesukuan melalui Loya Jirga agar loyalitas masyarakat dapat dialihkan dari para mullah dan maulawi menjadi ke pemimpin suku atau klan yang didukung pemerintah. Pemimpin faksi mujahidin yang mendukung Karzai, seperti Abdul Karim Khalili dan Ahmad Gailani, diberi imbalan jabatan di kabinet.

Rabbani kemudian menjadi politisi (partai Jamiat-e Islami), ia saat ini memimpin Afghanistan National Front yang merupakan oposisi politik utama pemerintahan Hamid Karzai. Ahmad Shah Massoud wafat akibat serangan bom bunuh diri di tahun 2001, pasukannya kemudian dipimpin oleh wakilnya, Mohammad Qasim Fahim, yang masuk dalam kabinet Karzai. Abdur Rabbir Rasul Sayyaf tahun 2005 mengubah Ittihad-e-Islamiy menjadi partai politik, the Islamic Dawah Organisation of Afghanistan. Tahun 2007, Sayyaf memperjuangkan amnesty bagi mantan mujahidin dan membela mereka agar tidak dijerat hukum penjahat perang dari rezim Karzai.

Mohammad Qasim Fahim dan Ismail Khan adalah dua anggota partai Jamiat-e Islami (yang dipimpin Rabbani) yang berada dalam kabinet Karzai. Mereka sering menjadi sasaran serangan bom Taliban. Ismail Khan berusaha mewujudkan satuan polisi Islami dan membangun infrastruktur di Afghan. Amerika menekan Karzai agar memasukkan Mohammad Qasim Fahim dan Ismail Khan dalam kabinetnya demi memperkuat pemerintahan Karzai menghadapi Taliban. Taliban dan Al Qaidah melanjutkan perlawanan melawan Amerika dan sekutu-sekutunya. Mereka memperluas front pertempuran melewati perbatasan Afghanistan-Pakistan.

IV. Salafiyun dan Bangkitnya Jaringan Salafi Jihadi

Salafi ialah menjadikan para salafus sholih, dari Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan ulama-ulama ahlus sunnah wal jamaah, sebagai panutan. Setiap muslim yang mengikuti jalan salafus sholih merupakan salafi, sebagaimana Buya Hamka sewaktu ditanya apa mazhabnya, maka beliau menjawab bahwa mazhabnya ialah salafi, yaitu mengambil pendapat dari empat Imam ahlus sunnah, baik itu Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hambali.

Sedangkan istilah salafiyun dipopulerkan kalangan ulama yang hendak melanjutkan Gerakan Tajdid Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Abdul Wahhab (1701 – 1793 M) berasal dari Nejed dan bekerja sama dengan Amir Muhammad bin Sa’ud merintis berdirinya negara Saudi Arabia yang memisahkan diri dari Turki Utsmani. Gerakan Salafiyun mulai berkembang sekitar abad ke-20 M, dengan tokoh-tokoh utamanya Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dan Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Tujuan utamanya ialah membersihkan akidah dari bid’ah dan khurafat. Mereka terutama mengambil pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, dan para ulama Ahli Hadits.

Pemikiran Salafi merupakan landasan berbagai Gerakan Islam. Semangat Tajdid adalah sebab terbentuknya berbagai Gerakan Islam tersebut, dan keberadaan Gerakan Salafiyun semakin mempertegas warna Salafi dalam arus Tajdid tersebut.

Namun dari Gerakan Salafiyun tersebut muncul kelompok ekstrim Salafi Yamani. Ciri khas mereka ialah gemar membid’ahkan, memvonis sesat, menyukai debat kusir, mencari-cari kesalahan orang lain lalu menyebarkannya, serta menggolong-golongkan umat Islam yang berbeda dari mereka. Pemuda-pemuda Salafi Yamani dibina untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan penyadaran dan pelayanan di masyarakat dengan alasan bahwa hal-hal tersebut merupakan bentuk kerjasama dengan pelaku bid’ah. Sering kali mereka bersikap jauh lebih keras terhadap sesama muslim daripada dengan orang kafir. Tokoh-tokohnya antara lain Muhammad Aman Al-Jami, Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, dan Muhammad bin Hadi Al-Madkhali. Mereka bahkan tak segan menghujat sesama Salafiyun.

Di antara ulama-ulama Salafiyun yang menjadi sasaran hujatan Salafi Yamani ialah Abdurrahman Abdul Khaliq di Kuwait (organisasi Ihya’ut Turats), Muhammad Surur bin Zainal Abidin (London), serta Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, Aidh Al-Qarni, dan Nasir Al-Umar di Saudi Arabia. Ulama-ulama tersebut dan Salafiyun yang mengikutinya sering disebut sebagai Salafi Haraki. Di Indonesia, komunitas Salafi Haraki antara lain diwakili oleh Yayasan Al Sofwah di Lenteng Agung, Jakarta. Salafi Haraki dianggap telah menyimpang oleh Salafi Yamani akibat Salafi Haraki tidak mau mengikuti Salafi Yamani memvonis sesat ulama-ulama yang berbeda dari mereka, seperti Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha dan lainnya.

Di antara ulama Salafi Yamani yang banyak menghasilkan karya tulis ialah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dan Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali. Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i sangat rajin menyerang tokoh-tokoh Ikhwan, Jama’at Tabligh, Muhammad Rasyid Ridha, dan bahkan Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi (buku Nasyrus Shahifah fi Dzikris Shahih min Aqwal A’immatal Jarhi wat Ta’dili fi Abi Hanifah). Sedangkan Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali juga sangat antusias menyerang Sayyid Quthb, Abul A’la Al-Maududi, dan Salman Al-Audah.

Rabi bin Hadi Al-Madkhali pada Ramadhan 1422 H mengumumkan bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan penyebab utama kemalangan yang menimpa umat Islam di berbagai belahan bumi, seperti di Afghanistan, Aljazair, dan Chechnya. Ikhwan dianggap provokator yang menuduh Salafiyun sebagai kaki tangan pemerintah, ikhwan pun dianggap telah menjerumuskan para pemuda atas nama jihad. Rabi bin Hadi Al-Madkhali menyatakan bahwa Taliban lebih baik di Afghanistan setelah Salafiyun, Taliban lebih baik dari Ikhwanul Muslimin, dan dia menasehati Salafiyun di Afghanistan untuk bersama Taliban.

Keberadaan Ikhwan (Abdur Rabbir Rasul Sayyaf, Burhanuddin Rabbani, Ahmad Shah Massoud) di Aliansi Utara yang terdiri dari Komunis, Syi’ah, dan Bathiniyah (Kebatinan), dianggap sebagai cerminan sikap Ikhwan di berbagai negara. Tidaklah berdiri Ikhwan di suatu negara melainkan akan menjalankan aliansi dengan Sekuleris, Sosialis, dan lainnya, agar dapat masuk ke gedung parlemen. Sebelumnya, Ikhwan dianggap terlibat dalam pembunuhan tokoh dakwah Salafiyah Afghanistan, Syaikh Jamilurrahman yang memimpin faksi mujahidin Jama`atul Qur’an was Sunnah. Tahun 1992, saat para pimpinan mujahidin di Kabul membahas kepemimpinan Afghanistan, Jamilurrahman yang saat itu menguasai wilayah Kunar langsung mendirikan Imarah Islamiyah dan menerapkan hukum Islam di Kunar. Akhirnya terjadi pertempuran antara Jamilurrahman dengan Gulbuddin Hekmatyar. Jamilurrahman pun terbunuh oleh serangan bom bunuh diri yang dilakukan seorang pemuda Mesir anggota pasukan Hekmatyar.

Sedangkan Ikhwan di Aljazair dituding sebagai penyebab perpecahan Salafiyun serta sikap represif militer kepada umat Islam Aljazair. Tahun 1987, Ali Balhaaj seorang pimpinan dakwah salafiyyah bekerjasama dengan Abbas Madani seorang tokoh Ikhwan, yang menuntut diterapkannya syari’at Islam. Massa dakwah salafiyah pun terbagi, sebagian terlibat pergerakan politik dan sebagian tetap berkutat di pengajian-pengajian. Abbas Madani, Ali Balhaaj, dan beberapa tokoh lainnya mendirikan partai FIS (Front Islamic du Salut) tahun 1989, dan berhasil memenangkan pemilu tahun 1991. Pihak militer segera mengumumkan keadaan darurat sehingga hasil pemilu dibatalkan, dan dimulailah rangkaian penangkapan dan pembunuhan umat Islam Aljazair. Rakyat dicekam ketakutan hingga tumbuhlah antipati terhadap aktivitas dakwah Islam.

Ikhwan pun dituduh telah menghancurkan bangsa Chechnya. Bangsa Chechnya berhasil memerdekakan diri setelah mengalahkan Russia dalam Perang Chechnya Pertama (1994 – 1996). Kemudian mujahidin Chechnya menerobos ke Dagestan untuk menyatukan wilayah-wilayah muslim di Kaukasus menjadi satu negara Islam. Hal ini juga dikarenakan terdapat muslim Dagestan yang membantu bangsa Chechnya dalam Perang Chechnya Pertama. Vladimir Putin pun mendapat legitimasi penuh untuk melancarkan perang kedua atas Chechnya di tahun 1999. Russia akhirnya kembali menguasai Chechnya secara de facto. Untuk menghindari kecaman dunia internasional sekaligus meredam semangat perlawanan rakyat Chechnya, Russia kemudian menempatkan presiden boneka yang memecah belah rakyat Chechnya. Rabi bin Hadi Al-Madkhali menganggap Ikhwan yang telah memprovokasi terjadinya Perang Chechnya Kedua.

Di Indonesia, tokoh utama Salafi Yamani ialah Ja’far Umar Thalib. Ja’far Umar Thalib belajar agama di Pakistan (sekitar tahun 1986-1987) dan terlibat jihad Afghan (sekitar tahun 1987-1989). Di sana ia berkenalan dengan para pemuda Yaman dan Suriah yang memperkenalkan dakwah Salafiyah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i yang berada di Yaman. Tahun 1999, terjadi kerusuhan Ambon. Ja’far Umar Thalib kemudian membentuk Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dideklarasikan pada 1 Muharram 1422 H (6 April 2000 M) di Senayan, Jakarta. Nama Laskar Jihad yang digunakan agar memberitahukan kepada publik bahwa organisasi ini hanya dalam perkara pelaksanaan jihad di Ambon dan bukan sebagai bentuk bughat kepada pemerintah, hal ini mengikuti nasehat Syaikh Muqbil di Yaman. Namun kemudian Ja’far Umar Thalib melakukan hukum rajam pada Maret 2001 terhadap anggotanya yang mengaku berzina. Hal ini menimbulkan kritik yang luas baik dari eksternal maupun internal Salafi Yamani. Laskar Jihad sudah seperti negara dalam negara yang menerapkan hukum sendiri. Ketika Ulama Salafi Yamani di Yaman juga mengeluarkan kecaman, akhirnya Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jamaah dibubarkan pada Oktober 2002. Ja’far Umar Thalib kemudian dikucilkan dari komunitas Salafi Yamani dan posisinya diambil alih oleh Muhammad Umar As Sewed.

Ulama-ulama arus utama Salafiyun seperti Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, Muhammad Jamil Zainu, ataupun Shalih bin Fauzan Al-Fauzan sering menasihati Salafi Yamani agar tidak ghuluw (melampaui batas). Syaikh Mut’ib bin Sarayan al ‘Ashimiy mengumpulkan fatwa dan nasihat para ulama senior Saudi Arabia terhadap Salafi Yamani dalam kitab Kasyfu al Haqaa-iq al Khafiyah ‘inda Mudda’iy as Salafiyyah (penerbit Maktabah al Malik Fahd al Wathaniyah, Mekkah al Mukarramah 1425H). Tokoh-tokoh Ikhwan yang sering dihujat Salafi Yamani pun banyak mendapat pembelaan dan pujian dari ulama-ulama arus utama Salafiyun. Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan ketua Hai’ah Kibarul Ulama) termasuk diantara sekian banyak ulama yang mengajukan permohonan kepada Nasser agar membatalkan hukum gantung bagi Sayyid Quthb. Bin Bazz pun mendukung fatwa jihad yang dikeluarkan Abdullah Azzam.

Selain gerakan ekstrim Salafi Yamani, Salafiyun juga menjadi latar dari bangkitnya jaringan Salafi Jihadi. Salafi Jihadi adalah sebutan bagi kalangan muslim dengan pemikiran seperti Salafiyun (kembali ke Al Qur’an dan Sunnah, memurnikan akidah, menolak bid’ah) namun memiliki target dakwah berupa tegaknya Khilafah Islamiyah, jihad qital sebagai jalannya, dan menganggap kafir penguasa muslim yang tidak menerapkan hukum Alloh (Syariah).

Sayyid Quthb dianggap sebagai perumus dasar pemikiran Salafi Jihadi. Karena itulah Salafi Yamani mencap Ikhwanul Muslimin sebagai khawarij yang telah mengkafirkan sesama muslim. Padahal Ikhwan dan Sayyid Quthb tidak pernah secara liar mengkafirkan sesama muslim ataupun menggalang pemberontakan bersenjata untuk menumbangkan suatu pemerintah muslim. Tulisan-tulisan Sayyid Quthb mengenai keharusan penguasa muslim menerapkan hukum Alloh (Syariah), telah dimaknai lebih jauh oleh generasi sesudahnya, seperti Ahmad Shukri Mustafa, Muhammad Abdus Salam Faraj, Abdul Qodir bin Abdul Aziz, Ayman Al-Zawahiri.

Abdul Qodir bin Abdul Aziz sempat mengeluarkan sejumlah buku, antara lain Al Jaamie’ Fie Thalabil Ilmisy Syaarif (sudah diterjemahkan oleh penerbit Al Alaq, Solo). Buku-bukunya menerangkan mengenai kafirnya penguasa yang menjalankan hukum dengan selain apa yang diturunkan Alloh. Karena kekafiran tersebut maka kekuasaannya batal, haram mentaatinya, dan wajib menggulingkannya. Abdul Qodir juga menyatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk kemusyrikan, sehingga kafirlah orang yang masuk parlemen (walaupun atas nama dakwah). Hukum kafir itu juga berlaku selain bagi wakil rakyat di parlemen, juga bagi orang yang memilih mereka.

Salafi Jihadi pun harus berseberangan dengan ulama-ulama Salafiyun. Salafi Jihadi menganggap Al Albani dan Bin Bazz sebagai murjiah karena diam saja terhadap penguasa muslim yang tidak menerapkan hukum Islam. Jika Salafi Jihadi dan Salafi Yamani baru sebatas saling hujat khawarij versus murjiah, maka elemen Salafi Jihadi dan Ikhwanul Muslimin sudah sampai pada pertikaian bersenjata, seperti pertempuran antara Hamas (Ikhwan) dengan Jundu Ansharullah (Salafi Jihadi) di Palestina, Agustus 2009.

Ayman al-Zawahiri sendiri sudah bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sejak usia belasan tahun. Abdul Qodir bin Abdul Aziz (lahir tahun 1950 di Mesir Selatan) dan Ayman al-Zawahiri (lahir tahun 1951 dari keluarga kaya di Mesir) adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Kairo dengan predikat Mumtaz dan Jayyid Jiddan. Mereka akhirnya harus berseberangan ketika Abdul Qodir bin Abdul Aziz mengkoreksi pemikirannya.

Saat berdiri Pemerintahan Islam Mujahidin Afghanistan tahun 1992, Pakistan berbalik arah dan meminta mujahidin meninggalkan kamp-kamp yang ada di wilayah Pakistan. Usamah bin Laden kemudian pergi ke Sudan untuk menjalankan cita-citanya. Abdul Qodir bin Abdul Aziz yang sempat meraih gelar doktor bidang bedah di salah satu universitas Pakistan, juga meninggalkan Pakistan untuk menghindari kejaran intelijen sekitar tahun 1993. Saat hendak ke Sudan, Abdul Qodir singgah di Yaman yang masih dalam suasana perang saudara antara Yaman Utara dengan Yaman Selatan. Ia sempat bekerja di beberapa Rumah Sakit, namun akhirnya ditangkap pemerintah Yaman pada Oktober 2001. Abdul Qodir bin Abdul Aziz diekstradisi ke Mesir tahun 2004, dan di penjara Mesir ia mulai mengalami perubahan. Tahun 2007 ia menulis buku Wathiqatu Tarsyidil ‘Amalil Jihadi Fie Mishr wal ‘Alam (diterbitkan Sabili Publishing, berjudul Menggugat Al Qaidah; Rasionalisasi Jihad di Mesir dan Dunia). Buku ini selain meralat buku-bukunya dahulu, juga turut mengkritisi sepak terjang Al Qaidah. Jawaban resmi Al Qaidah segera dikeluarkan Ayman Al Zawahiri dengan menulis buku At Tabriah.

Jihad Afghan telah memberikan energi baru bagi pemikiran Salafi Jihadi. Salafi Jihadi pun terbentuk menjadi gerakan sistematis dengan adanya Al Qaidah yang berusaha memasukkan mujahidin internasional dan Gerakan Islam bersenjata ke dalam barisan Gerakan Jihad Global. Saat Sovyet berhasil dikalahkan dan para pimpinan mujahidin Afghan mulai disibukkan dengan kepemimpinan Afghanistan. Sebagian mujahidin internasional mulai mencari ladang jihad baru. Antara lain di Perang Bosnia (1992 – 1995), Perang Saudara di Tajikistan (1992 – 1997), ataupun Perang Chechnya (1994 – 1996 dan 1999 – sekarang).

Di antara mujahidin internasional yang mencari ladang jihad baru ialah Usamah Bin Laden dan Ayman Al Zawahiri. Usamah memilih pergi ke Sudan yang saat itu tengah dijalankan berbagai program Islamisasi oleh Hassan Turabi. Berdasarkan konsep Abdullah Azzam tentang Al-Qaidah Al-Sulbah (landasan yang solid), maka Usamah dan Ayman tidak langsung mencari garis depan pertempuran. Di kalangan mujahidin, kata al-qaidah berarti tempat persiapan dan pelatihan bagi pasukan yang akan berperang. Kata ini juga bermakna tempat bertolak atau markaz pemberangkatan pasukan menuju sasaran operasi militer mereka.

Usamah dan Ayman menginginkan gerakan jihad yang tertata dan penuh persiapan. Mereka memprioritaskan pembuatan kamp-kamp latihan militer untuk para pemuda. Selain itu, mereka pun mulai mengumpulkan informasi tentang tokoh dan organisasi yang memiliki kesamaan visi dan misi. Mereka mencita-citakan dapat menjalin kerjasama atau bahkan menyatukan berbagai gerakan jihad di seluruh dunia, termasuk menghimpun para mujahidin internasional yang saat itu tersebar di beberapa negara.

Setelahnya runtuhnya Uni Sovyet tahun 1991, Usamah dan Ayman memandang bahwa semua malapetaka yang menimpa umat Islam bersumber dari persekutuan Yahudi dan Kristen yang saat ini menjelma pada negara Amerika Serikat. Musuh ini tidak mungkin dinasihati untuk menghentikan tipu daya dan kezaliman mereka apalagi melalui cara pengecut bernama perundingan. Maka melawan hegomoni Amerika harus melalui cara militer.

Di Sudan, Usamah dan Ayman berhasil menjalin kerjasama dengan beberapa gerakan perlawanan, antara lain di Aljazair, Mesir, Eritrea, dan Somalia. Perang Teluk I (1990-1991) telah menjadikan Saudi Arabia sebagai pangkalan militer Amerika. Usamah pun melontarkan kecaman keras pada pemerintahan Saudi Arabia. Sepak terjang Usamah akhirnya membuat pemerintah Saudi Arabia mencabut kewarganegaraan Usamah pada tahun 1994. Amerika pun menekan Sudan agar mengusir Usamah, namun Turabi tidak menanggapinya.

Tahun 1996, Taliban berhasil memimpin Afghanistan. Kondisi Afghan menjadi lebih stabil dan hukum Syariah telah dijalankan. Taliban pun menerima Usamah dan pengikutnya sebagai sekutu untuk menguatkan posisinya dari gangguan lawan-lawannya di utara Afghanistan. Bahkan Usamah dijadikan menantu oleh Mullah Umar. Karena itulah Usamah memindahkan markasnya dari Sudan ke Afghanistan.

Pemindahan markas tersebut memberi dampak besar bagi gerakan Usamah. Semakin banyak mujahidin internasional yang berhasil dihimpun Usamah, semakin banyak pula pemuda dari berbagai negara yang berdatangan ke markasnya. Usamah mempersiapkan pemuda-pemuda tersebut untuk disebar ke berbagai negeri demi mengobarkan jihad melawan musuh-musuh Islam. Dari markas-markas latihan inilah dikenal nama Al Qaidah.

Serangan-serangan yang dilakukan Al Qaidah pun lebih semarak dan mematikan. Tahun 1996, Usamah menyerukan jihad melawan Amerika dan pemerintah murtad Saudi. Tahun 1997, Usamah menyampaikan pada CNN bahwa Amerika akan menerima balasan akibat dukungannya pada Israel.

Tahun 1998, terjadi pengeboman kedutaan Amerika di Nairobi (Kenya) dan Dar es Salaam (Tanzania), lebih dari 200 orang terbunuh. Dua kedutaan itu dikenal sebagai markas intelijen CIA di Afrika.

Amerika secara resmi menuding Usamah bin Laden berada di belakang peristiwa tersebut. Kurang dari sebulan, Amerika membalas dengan menembakkan rudal ke kamp-kamp latihan Al Qaidah di sekitar Khost dan Jalalabad, Afghanistan. Amerika pun membombardir sebuah pabrik obat di Sudan dengan alasan pabrik tersebut adalah tempat pembuatan senjata kimia bagi Al Qaidah. Ayman al-Zawahiri kemudian menyerukan penyatuan Tanzim Jihad Mesir dengan Al Qaidah untuk membentuk Jabhan Al Islamiyah Al Alamiyah li Muharobati Al Yahudi wa Al Amrikan (Front Perlawanan Islam Internasional untuk Memerangi Yahudi dan Amerika).

Tahun 2000, terjadi serangan bom bunuh diri terhadap kapal perang Amerika, USS Cole, di pelabuhan Aden, Yaman. Usamah menyatakan bahwa serangan itu sebagai balasan atas dibunuhnya Abul Hasan Al-Mihdar oleh presiden Yaman, Ali Abdullah Shaleh. Puncaknya adalah serangan 11 September 2001. Usamah mengaku bertanggung jawab terhadap serangan tersebut. Walaupun Amerika berhasil menggulingkan rezim Taliban pasca 11 September 2001, namun Al Qaidah dan Taliban masih terus melanjutkan perlawanan. Serangkaian bom dan serangan terjadi di Tunisia, Yaman, Kuwait, Pakistan, Kenya, Saudi Arabia, Maroko, Turki, termasuk bom di Madrid (Spanyol) tahun 2004 dan London (Inggris) tahun 2005.

Al Qaidah telah menjadi gerakan jihad terbesar. Setiap negara yang umat Islamnya tertindas, maka Al Qaidah akan berusaha membangun jaringan dan aliansi dengan gerakan perlawanan lokal, kecuali jika gerakan tersebut Syiah. Al Qaidah menjadi semacam organisasi payung bagi berbagai gerakan yang disatukan oleh kesamaan pemikiran, tujuan, dan metode. Berbagai kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaidah lebih merupakan sel-sel yang mandiri dengan ikatan organisasi yang longgar.

Berbagai hadits yang meriwayatkan Perang Akhir Zaman menjadi acuan dan penambah semangat mereka. Diantaranya adalah hadits-hadits tentang Laskar Panji Hitam dari Kurasan (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi), Tha’ifah Manshurah (HR. Ahmad, dan Muslim dengan sedikit perbedaan matan), serta Al Mahdi (HR. Ibnu Majah). Tidak sedikit ulama yang menyamakan perjuangan mereka dengan ciri Tha’ifah Manshurah dan Laskar Panji Hitam dari Kurasan.

Secara struktural, tanzim-tanzim Al Qaidah berdiri di Afrika Utara, Semenanjung Arab, dan juga Irak. Al Qaidah pun menjalin hubungan dengan berbagai gerakan perlawanan lokal, seperti di Kashmir, Philipina, dan juga Uzbekistan. Dari sebaran aktivitas Al Qaidah tersebut, berikut ini contoh kasus pengaruh Al Qaidah di Aljazair dan Indonesia.

Salah satu penyebab kemenangan FIS dalam pemilu tahun 1991 di Aljazair, dikarenakan partai tersebut berhasil menghimpun berbagai organisasi dan gerakan Islam dengan berbagai macam latar belakang ideologi dalam Rabithah Ad Dakwah Al Islamiyah yang dipimpin Ahmad Sahnun. Namun hal itu pula yang menyebabkan munculnya kelompok ekstrim GIA saat terjadi pemberangusan FIS pasca pemilu tahun 1991.

Pada pemilu tahun 1991, FIS meraih lebih dari 50% suara, dan dinyatakan menang telak. Presiden Benjedid kemudian mengundurkan diri setelah kekalahan partainya. Pihak militer segera mengumumkan keadaan darurat, sehingga hasil pemilu dibatalkan dengan alasan terjadi kecurangan. Partai-partai politik diberangus dan parlemen dibubarkan dengan undang-undang keadaan darurat. February 1992, militer memanggil Mohammed Boudiaf, tokoh sosialis nasionalis, yang sedang diasingkan di Maroko. Boudiaf diangkat sebagai pimpinan High Council of State (Dewan Tinggi Negara) sebagai pemerintahan interim, untuk legitimasi bahwa pemimpin Aljazair bukan dari militer.

Namun Dewan Tinggi Negara tetap merupakan perwujudan dari junta militer. Dewan Tinggi Negara merekayasa semua cara untuk memberangus FIS dan menyatakannya sebagai partai politik terlarang. Ribuan anggota dan pendukung FIS ditangkap dan dijebloskan ke penjara, banyak pula yang dibunuh. Boudiaf sendiri tewas di tangan Letnan Mohammed Bumaaraf yang berusia 26 tahun pada Juni 1992. Boudiaf dibunuh akibat sikapnya yang mulai berseberangan dengan militer. Militer merekayasa seolah-olah pembunuhan itu didalangi kelompok Islam.

Bersamaan dengan itu muncullah GIA (Groupe Islamique Armee) yang membalas pemberangusan FIS dengan melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan militer Aljazair. Namun situasi Aljazair menjadi semakin kacau karena GIA membenarkan pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak mendukung GIA. Pembunuhan kaum muslimin yang terlibat dalam FIS dilakukan oleh militer, sedangkan pembunuhan kaum muslimin yang terlibat dengan pemerintah dilakukan oleh GIA.

Tahun 1998, Hassan Hattab (komandan regional dan salah satu pendiri GIA) keluar dari GIA karena tidak setuju dengan pembunuhan warga sipil oleh GIA. Hassan Hattab kemudian mendirikan Al Jamaa’ah As Salafiyyah lid Da’wah wal Qital atau GSPC (Groupe Salafiste pour la Predication et le Combat). Setelah menerima amnesti di tahun 1999, sebagian anggota GIA menggantung senjata mereka, namun sebagian lainnya bergabung dengan GSPC.

Tahun 2003, Hattab digantikan Nabil Sahraoui (Abu Ibrahim Mustapha). Namun Sahraoui wafat di tahun 2004, dan posisinya digantikan Abu Musab Abdul Wadud. Sebuah pecahan GSPC (disebut dengan Kelompok Hattab’s) menjadi Free Salafist Group (GSL), dipimpin El Para dan dicurigai melakukan penculikan wisatawan asing pada tahun 2003. Namun sebagian gerakan Islam menganggap bahwa gerakan ini didalangi oleh intelijen Aljazair.

Tahun 2005, GSPC mulai menerima inisiatif rekonsiliasi yang ditawarkan pemerintah. Hassan Hattab pun meminta seluruh anggota GSPC untuk menerima amnesti dari pemerintah. Namun di tahun 2006, Ayman al-Zawahari dan Abu Musab Abdul Wadud mengumumkan penyatuan antara GSPC dan Al Qaidah. Mereka sepakat bekerja sama melawan Perancis dan kepentingan-kepentingan Amerika. Dalam peryataan yang dipublikasikan di beberapa situs Salafi Jihadi, Abu Musab Abdul Wadud menyatakan bahwa sebelumnya mereka telah berhubungan selama kurang lebih setahun. Abdul Wadud juga menyatakan bahwa alasan penggabungan ini dikarenakan musuh telah bersatu dalam menghancurkan Islam di Palestina, Irak, Afghanistan. Sehingga wajib bagi mujahidin untuk bersatu menghadapi musuh yang telah bersatu, dan Amerika tidak akan dapat dikalahkan kecuali dengan kekhalifahan.

Tahun 2007, GSPC mengumumkan nama baru yang menunjukkan aliansi mereka dengan Al Qaidah, yaitu Tanzim Al Qaidah Biladi Maghrib Islami. Keberadaan Tanzim Al Qaidah Biladi Maghrib Islami menunjukkan bangkitnya jaringan Al Qaidah di wilayah Afrika Utara. Mereka telah menyatakan bertanggung jawab atas serangkaian ledakan bom pada tahun 2008 di ibu kota Aljazair (Algiers) dan di pusat ekonomi Maroko (Casablanca).

Pengaruh Al Qaidah masuk ke Indonesia setelah sebagian faksi-faksi NII (Negara Islam Indonesia) mengalami revitalisasi dengan adanya Jihad Afghan (tentang faksi-faksi dalam gerakan Darul Islam atau NII, lihat Al Chaidar, Sepak Terjang Syekh AS Panji Gumilang Menyelewengkan Negara Islam Indonesia Pasca SM Kartosoewirjo, Jakarta: Madani Press, 2000). Aktivis muslim Indonesia yang membantu mujahidin Afghanistan mengusir Uni Soviet (1979 – 1989) berasal dari berbagai Gerakan Islam. Namun sebagian mujahidin dari kalangan Jamaah Darul Islam atau NII terus berdatangan meskipun Uni Sovyet telah mundur dari Afghanistan. Imam Samudra dalam bukunya (Aku Melawan Teroris, Solo: Al-Jazera, 2004) menceritakan bahwa ia pergi ke Afghan sekitar tahun 1990 dengan rute perjalanan melalui jalur Malaysia.

Pasca Taliban dan Al Qaidah berhasil menancapkan kekuasaan di Afghanistan, aktivis NII faksi Abdullah Sungkar tetap berdatangan ke Afghanistan untuk latihan militer. Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir dan beberapa sahabatnya hijrah ke Malaysia di tahun 1985 untuk menghindari tekanan pemerintahan Soeharto. Mereka berhasil membangun sebuah faksi NII yang memiliki jaringan dengan aktivis-aktivis muslim dan gerakan-gerakan Islam di luar Indonesia. Sebelumnya tokoh-tokoh NII telah berinteraksi secara pemikiran dengan Gerakan Islam Transnasional. Saat pengadilan perkara subversi terhadap Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir tahun 1982, dalam pledoi-nya mereka mengambil acuan dari kitab tokoh-tokoh Ikhwan seperti Said Hawwa, Sayid Quthb, Sayyid Sabiq, dan Abdul Kadir Audah.

Pada dekade 1980-an, interaksi tersebut semakin erat secara personal dan kelembagaan. Diantaranya ialah Hilmy Aminuddin yang kemudian bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Sedangkan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, memasuki dekade 1990-an, membangun gerakan Jamaah Islamiyah (JI) yang lebih luas cita-citanya dari NII.

JI menjalin hubungan bukan saja dengan gerakan Islam yang memiliki kesamaan ide dan pemikiran di Asia tenggara, namun juga dengan gerakan Islam yang tengah membangun Gerakan Jihad Global, yaitu Al Qaidah. Sekitar tahun 1994, beberapa anggota JI dikirim untuk membantu perjuangan Moro di Mindanao, Filipina. Hambali (alias Ridwan Isamuddin alias Encep Nurjaman) merupakan salah satu anggota JI yang pernah mengikuti kamp militer Al Qaidah.

Jamaah Islamiyyah kemudian vakum sejak tahun 1999 dengan wafatnya Abdullah Sungkar. Para aktivis JI seperti Ali Imron, Mubarok, Farihin, Urwah, dan Luthfi Haedaroh meminta Abu Bakar Ba’asyir dapat menjalankan roda organisasi JI, meneruskan kepemimpinan Abdullah Sungkar. Namun ternyata Abu Bakar Ba’asyir memiliki metode pergerakan yang berbeda dengan Abdullah Sungkar. Ba’asyir tidak mau bergerak dengan organisasi bawah tanah seperti JI. Walaupun sama-sama menginginkan berdirinya negara Islam, namun Ba’asyir lebih memilih menggunakan istilah ‘penerapan syariah Islam’.

Abu Rusydan (alias Thoriquddin alias Hamzah), seorang veteran Afghan, kemudian diminta melanjutkan organisasi JI. Namun Abu Rusydan juga tidak bersedia. Abu Rusydan adalah salah satu Ketua Mantiqi JI yang membawahi beberapa wilayah seperti Kalimantan, Sabah dan Sarawak, Sulawesi, termasuk juga Filipina Selatan. Pengadilan memberikan vonis 3 tahun 6 bulan padanya karena dianggap melindungi Mukhlas, dalam peristiwa Bom Bali I.

Sebagian aktivis JI (terutama mereka yang veteran Afghan) kemudian bergerak sendiri dengan tetap menghormati tokoh-tokoh lama JI namun mengambil rujukan utama dari Gerakan Jihad Al Qaidah. Mereka menjadi operator lapangan berbagai aksi bom di Indonesia, seperti Bom Bali dan Bom Marriot. Sebagian lainnya aktif di Jihad Ambon dan Poso. Di Poso, akibat ‘terlambat datang’, mereka terus menyerang orang-orang Kristen walaupun sudah terjadi perdamaian antara penduduk Muslim dan Kristen, sehingga terjadilah pertempuran antara mereka dengan polisi di Tanah Runtuh pada Januari 2007. Pada tahun 2003, lebih dari dua puluh veteran Afghan (yang merupakan aktivis JI) ditahan aparat kepolisian dengan berbagai tuduhan yang mengarah pada UU Antiteroris.

Ketika berdiri organisasi formal Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), maka Abu Bakar Ba’asyir bersedia menjadi Amirul Mujahidin sekaligus ketua Ahlul Halli Wal Aqdi MMI. MMI berdiri tahun 2000 di Yogyakarta. Organisasi ini menghimpun berbagai gerakan Islam yang bertujuan menegakkan syariah Islam, termasuk diantaranya beberapa faksi NII. Sedangkan elemen-elemen JI pada umumnya tidak ikut bergabung dengan MMI. Ba’asyir berpendapat bahwa usaha mendirikan negara Islam harus melalui jalan dakwah dan memanfaatkan sistem hukum dan perundangan negara setempat selama tidak bertentangan dengan syariah Islam. Hal ini berbeda dengan pandangan umum aktivis JI yang menganggap setiap produk hukum dan perundangan negara yang tidak memakai hukum Islam maka hukum dan perundangan tersebut tidak wajib ditaati.

Namun tokoh-tokoh dan kitab-kitab yang menjadi rujukan MMI tetap sama dengan yang dirujuk JI. Seperti Abdul Qodir bin Abdul Aziz, Ayman Al-Zawahiri, juga buku-buku dari Tanzim Jihad dan Jama’ah Islamiyyah Mesir, serta Abu Muhammad Ashim Al Maqdisi. Abu Muhammad Al Maqdisi adalah veteran Afghan yang beberapa kali dipenjara oleh pemerintah Yordania. Dia dianggap sebagai mentor Abu Mush’ab Al Zarqawi (pemimpin Al Qaidah Irak yang terbunuh di tahun 2006).

Kitab-kitab rujukan MMI dan JI antara lain Al Kawasyif Al Jaliyyah fii Kufri Daulatis Su’udiyyah (mengenai kafirnya pemerintahan Saudi). Di dalam buku tersebut banyak celaan terhadap Abdul Aziz bin Baz, Al Albani, Al Utsaimin, Jamilurrahman Al Kunari, Muhammad Jamil Zainu, dan Rabi’ Al-Madkhali. Juga buku Ar-Raddu ‘alaa Syubuhat Al-Khathirah lisy Syaikh Al-Albani fii sya’ni syukut ‘anil hukkaam al-Murtaddin yakni bantahan terhadap Al-Albani yang dianggap diam terhadap pemerintahan murtad. Rujukan mereka juga karya-karya Sayyid Quthb dan beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin. Mereka pun menyebut para salafiyun sebagai Murji’ah. Umumnya MMI tidak mau mengutuk aksi-aksi pemboman yang dilakukan oleh Imam Samudra dan aktivis JI lainnya.

Termasuk pencapaian MMI adalah membuat kompilasi KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) syariah Islam, dengan instrumen turunannya berupa Garis-garis Besar Syariah Islam (GBSI). MMI akhirnya mengalami perpecahan dengan keluarnya Ba’asyir yang kemudian mendirikan Jamaah Anshrorut Tauhid (JAT). JAT dibentuk di Solo, Juli 2008, dan dideklarasikan pada September 2008 (17 Ramadhan 1429 H) di Asrama Haji Bekasi.

Keluarnya Ba’asyir dari MMI akibat perbedaan pendapat dengan Lajnah Tanfidziyah MMI mengenai beberapa hal. Antara lain, fatwa untuk memilih caleg PKS dan PBR pada pemilihan anggota legislatif, fatwa untuk memilih Amien Rais dalam pemilihan presiden tahun 2004, dan fatwa status syahid Fathurrahman Al Ghozi (terpidana terorisme yang ditahan di Philipina dan tewas saat sedang melarikan diri). Namun penyebab utama keluarnya Ba’asyir ialah mengenai konsep Jamaah wal Imamah.

Lajnah Tanfidziyah menilai bahwa mendukung partai politik berarti setuju dengan sistem demokrasi (sistem pemerintahan yang ditentang MMI). Selain itu, meskipun PKS dan PBR partai Islam, namun keduanya belum menunjukkan sikap tegas dalam kampanye syariah Islam. Lagipula, PKS dan PBR tidak tampak menengok dan memberikan dukungan moril maupun politik atas pemenjaraan Ba’asyir. Justru PPP dan PBB yang aktif menengok dan memberikan dukungan, baik politis, moril, maupun logistik. Mengenai Al Ghozi, Lajnah Tanfidziyah menganggap bahwa kematian Al Ghozi bukan syahid karena ia meninggal pada saat melarikan diri dari penjara. Tapi Ba’asyir dan kalangan JI menganggap kematian Al Ghozi sebagai syahid.

Dalam perkara Jamaah wal Imamah, menurut Ba’asyir sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat tunggal, bukan kolektif, karena hadits Nabi menyatakan al amiru ahaduhum (Amir itu satu). Pemimpin atau Imam juga tidak bertanggung jawab kepada rakyat (anggota), tetapi hanya bertanggung jawab kepada Alloh. Sehingga misalnya, pemimpin tidak perlu menyampaikan laporan pertanggung jawaban setiap lima tahun sekali kepada anggota. Masa kepemimpinan Amir pun seumur hidup. Menurut Ba’asyir, pergantian pimpinan secara periodik tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama salaf, misalnya lima tahun sekali harus menggelar kongres untuk memilih pimpinan baru. Selama pemimpin itu masih taat pada syari’at serta masih ada kemampuan, ia tidak boleh diganti. Ba’asyir juga menilai bahwa Amir atau Imam tidak terikat dengan keputusan musyawarah, karena musyawarah itu hanya memberi masukan dan pembantu bagi pemimpin, bukan menjadikan pemimpin sebagai pekerjanya.

Menurut Ba’asyir, sistem organisasi yang diterapkan MMI masih menggunakan sistem/sunnah Yahudi karena menggunakan sistem periodik seperti demokrasi. Konsep Jamaah wal Imamah yang diajukan Ba’asyir merupakan model organisasi JI dimana Ba’asyir merupakan salah satu pimpinannya. Dalam sistem JI, Amir berkuasa sepanjang hayat, selama tidak melanggar syariah, belum meninggal, dan tidak sakit permanen yang menyebabkan ia tidak bisa menjalankan amanatnya. Dalam sistem ini, Amir bertanggung jawab langsung kepada Alloh, tidak bertanggung jawab kepada manusia, Dalam mengambil keputusan, Amir tidak terikat dengan musyawarah, tetapi berhak meminta masukan dari orang-orang yang dipilihnya mengenai hal-hal yang tidak dikuasainya. Tugas Dewan Syuro hanya memberi masukan, keputusan ada di Amir.

Muhammad Thalib (wakil amir MMI) menilai konsep Jamaah wal Imamah dari Ba’asyir adalah konsep Syiah. Lagipula, Amir dalam suatu organisasi Islam berbeda dengan Amir suatu negara atau pemerintahan yang punya otoritas penuh dalam memutuskan apapun yang berhubungan dengan negara dan umat. MMI sebagai organisasi belum mempunyai kekuasaan setingkat negara, atau setidaknya propinsi yang Amir-nya punya wewenang untuk membuat keputusan yang akan ditaati oleh seluruh muslim (penduduk wilayah tersebut). Dalam organisasi yang cakupannya masih kecil dan terbatas, kepemimpinan Amir hendaknya disandarkan pada pola kepemimpinan kolektif dari beberapa ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu dengan kadar keimaman yang tinggi.

Ba’asyir membantah pendapat M. Thalib dengan mengatakan bahwa konsep tersebut memang diterapkan Syiah. Tetapi dalam Syiah, Amir itu ma`shum, sedangkan menurut Ahli Sunnah, Amir itu tidak ma`shum. Rakyat dan para ulama yang akan mengontrol kepemimpinannya. Jika Amir melakukan kesalahan maka langsung didatangi di kantornya. Tidak perlu mengadakan kongres agar Amir memberikan laporan. Ba’asyir juga menjawab bahwa sebagai muslim, jika berkumpul lebih dari tiga orang untuk beribadah maka wajib hukumnya berjamaah dengan prinsip Jamaah wal Imamah.

Pengurus MMI menilai, sikap Ba’asyir tersebut lebih disebabkan adanya pembisik, yaitu Tim ABB (Abu Bakar Ba’asyir) Center. Selama hampir 3 tahun (2003-2006) Ba’asyir dalam penjara, ABB Center melakukan berbagai pembelaan, baik secara hukum maupun kampanye media. Ketika akhirnya Ba’asyir mendirikan JAT, M. Thalib menggantikan Ba’asyir sebagai Amir MMI. Abu Jibril (veteran jihad Afghan dan Ambon) menjadi wakil Amir. Irfan Suryahardi Awwas dan Shobarin Syakur tetap berada di MMI, sedangkan Halawi Makmun dan Fauzan Al Anshari pindah ke JAT.

Perpecahaan ini memberi citra buruk bagi gerakan Islam pada umumnya. Elemen-elemen di dalam organisasi Islam kerap berselisih dan sering memilih menyelesaikan perselisihan tersebut dengan cara memisahkan diri. Ba’asyir sendiri menyatakan bahwa tujuan dibentuknya Jamaah Anshoru Tauhid adalah agar ditolong oleh Alloh. Pertolongan Alloh itu datang jika memenuhi dua syarat, yaitu niatnya ikhlas dan caranya benar. Cara yang benar itu meliputi tujuannya benar demi tegaknya Khilafah, sistem perjuangannya benar yaitu dakwah dan jihad, serta sistem jamaah organisasinya benar yaitu Jamaah wal Imamah.

Deklarasi Jamaah Anshorut Tauhid dihadiri KPPSI (Komite Persiapan Penegakan syariah Islam) Sulawesi Selatan, LUIS (Laskar Umat Islam Solo), KBMS (Keluarga Besar Mujahidin Surakarta), Forum Komunikasi Aktifis Masjid (FKAM) Surakarta, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), serta sekitar 30-an veteran Afghan yang merupakan anggota JI. Sebagian besar veteran Afghan tersebut adalah bekas narapidana, yang mendapatkan program rehabilitasi dari polisi agar mereka tidak mengulang keterlibatan dalam aksi-aksi terorisme. Fauzan Al Anshari sebagai juru bicara JAT menyampaikan bahwa JAT punya manhaj, tidak sepakat dengan apa yang dilakukan Imam Samudera, tapi tidak menganggap mereka teroris.

V. Ekstrimisme Jihad dan Makar Musuh-Musuh Islam

Ekstrimisme jihad bukan saja menimbulkan pertikaian antar Gerakan Islam, namun juga memberi celah bagi rekayasa musuh-musuh Islam. Palestina, tanah suci umat Islam yang tengah dikangkangi Zionis Israel, idealnya mampu mempersatukan Gerakan Islam. Namun pertumpahan darah antar Gerakan Islam pun terjadi pula di bumi Palestina.

Agustus 2009, menjelang sholat Jumat, Jundu Ansharullah dipimpin Abdul Latif Musa (Abu Al Nur Al Maqdisi) mendeklarasikan lahirnya Emirat (Negara) Islam Palestina di Masjid Ibnu Taimiyyah, kota Rafah, Gaza, Palestina. Jundu Ansharullah menyatakan bahwa Imarah Islam Palestina yang mereka deklarasikan adalah sebuah negara berdaulat dengan penerapan syariah Islam secara kaffah. Seusai sholat Jumat, pasukan keamanan Hamas mengepung Masjid Ibnu Taimiyyah. Pertempuran pun pecah dan berlangsung sampai malam hari.

Abdul Latif Musa dan lebih dari dua puluh anggota Jundu Ansharullah terbunuh. Sekitar enam orang pasukan keamanan Hamas ikut terbunuh, termasuk Muhammad Shamali (seorang komandan Al Qassam di Rafah). Shamali terbunuh saat hendak mengajak berdialog untuk menghindari pertempuran. Sejumlah warga juga menjadi korban, sementara pasukan keamanan Hamas berhasil menguasai tempat-tempat pertahanan Jundu Ansharullah dan menangkap beberapa anggotanya.

Hamas menyatakan bahwa Jundu Ansharullah telah mendirikan entitas ilegal yang mengkafirkan dan menuduh Hamas sudah murtad. Hamas pun menjadikan Jundu Ansharullah sebagai buronan atas serangkaian serangan bom terhadap beberapa Warnet di Gaza yang dianggap sebagai sarang amoral, dan sebuah penyerangan pada pesta pernikahan yang dihadiri pihak keluarga dari pimpinan Fatah Tepi Barat, Muhammad Dahlan.

Abdul Latif Musa adalah seorang dokter sekaligus ulama yang tinggal di kota Rafah, Gaza Selatan. Jundu Ansharullah ia dirikan pada November 2008, di wilayah selatan Gaza, sebagai jamaah jihad yang berafiliasi ke Al Qaidah. Jundu Ansharullah menyerukan untuk mengikuti pemahaman Salafus Sholih dalam seluruh hal, termasuk berpolitik. Terdapat beberapa mujahidin asing yang bergabung dalam barisan Jundu Ansharullah. Mereka juga telah melakukan serangan terhadap pasukan Israel pada Juni 2009 yang mengakibatkan empat anggota Jundu Ansharullah terbunuh.

Hamas menyebut Jundu Ansharullah sebagai kelompok Takfiri (golongan yang mengkafirkan sesama muslim) dan juga perusuh. Juru bicara pemerintah Palestina, Thahir Nunu, mengatakan bahwa sekelompok orang yang menamakan dirinya Salafi Jihadiyah dan dipimpin Abdul Latif Musa telah melakukan berbagai kejahatan terhadap rakyat Palestina. Seperti meledakkan acara pernikahan, merampas hak milik warga, dan mengancam keselamatan mereka. Mereka juga berupaya menerapkan hukum dengan caranya sendiri, padahal masalah tersebut merupakan tanggung jawab pihak keamanan yang berwenang. Ketika Israel menyerang Gaza pada Desember 2008 – Januari 2009, Jundu Ansharullah tidak ikut bertempur dengan alasan tidak mau menolong orang kafir (Hamas) untuk memerangi kafir lainnya (Israel).

Jundu Ansharullah menolak demokrasi karena mengikuti hukum manusia dan bukan hukum Alloh. Mereka mengecam Hamas karena dianggap gagal menerapkan syariah Islam di Gaza. Mereka pun mengkafirkan Hamas karena terlibat dalam demokrasi. Petinggi Hamas, Ismail Haniya dan Khalid Misy’al dianggap sangat lunak dan rela berkompromi dengan pihak mana pun, termasuk dengan kaum kafir dan Syiah.

Tokoh Salafi Jihadi dari Yordania, Abu Muhammad Al Maqdisi mencela Hamas akibat terbunuhnya Abdul Latif Musa. Sedangkan Jundu Ansharullah menyampaikan pesan melalui situsnya, akan membalas kematian pimpinan dan anggota mereka. Mereka juga memberi peringatan kepada penduduk di jalur Gaza untuk menjauhi kantor pemerintahan dan masjid-masjid yang dihadiri para pemimpin Hamas.

Sebelumnya, tokoh-tokoh Al Qaidah telah berkali-kali mencela Hamas dan mengajak sayap jihad Hamas (Brigade Izzuddin Al Qassam) agar memisahkan diri dari Hamas. Diantaranya ialah Ayman Al Zawahiri yang mengeluarkan peringatan keras kepada Hamas agar tidak mengambil jalan damai, jalan parlemen, dan jalan demokrasi, melainkan hanya menggunakan jalan jihad untuk membebaskan Palestina. Sedangkan Usamah bin Laden menyatakan bahwa melawan zionis Israel bukanlah dengan demonstrasi ataupun menyerahkan tanggung jawab kepada penguasa dan ulama. Pembebasan Palestina harus melalui jihad yang hukumnya merupakan fardhu ain.

Kontak senjata antara Jundu Ansharullah dan Hamas merupakan contoh yang kesekian kalinya dari sikap ekstrim Salafi Jihadi. Sikap ekstrim Salafi Jihadi tersebut telah membuka kesempatan bagi makar musuh-musuh Islam. Dalam hal ini, kasus yang paling sering dikaji ialah peristiwa 11 September 2001.

Sekitar 3.000 orang tewas ketika pembajak dengan pesawat sarat bahan bakar menabrak World Trade Center dan Pentagon pada 11 September 2001. Meskipun Usamah bin Laden mengklaim bertanggungjawab atas serangan tersebut, namun banyak peneliti yang menyalahkan pemerintahan George W Bush atas terjadinya serangan itu. Peristiwa 11 September telah dimanfaatkan Bush untuk menggelar kampanye anti teroris, menginvasi Afghanistan, dan menekan negara-negara muslim agar mengkebiri Gerakan Islam.

Tahun 2007, Keith Ellison (anggota kongres AS) mengatakan bahwa Bush diduga turut memainkan peran dalam peristiwa 11 September untuk mendapatkan legitimasi yang luar biasa seperti yang diberikan kepada Adolf Hitler di belakang pembakaran parlemen Jerman pada tahun 1933 yang mengkambinghitamkan kelompok komunis. Menteri Perumahan Perancis, Christine Boutin juga menduga bahwa Bush berada di balik peristiwa 11 September, sebagai sarana menciptakan suatu tatanan dunia baru.

Jajak pendapat Ohio University yang dipublikasikan tahun 2006 menunjukkan lebih dari sepertiga warga Amerika percaya bahwa pemerintahan Bush membantu terjadinya peristiwa 11 September, atau minimal tidak mengambil tindakan untuk menghentikan terjadinya peristiwa tersebut. Penghuni gedung dan penyelamat yang menjadi saksi peristiwa tersebut pun menyatakan bahwa gedung hancur dengan ledakan yang terkendali.

Karena itulah banyak peneliti yang menyatakan bahwa pemerintahan Bush telah memanfaatkan sikap ekstrim Salafi Jihadi sehingga terjadi peristiwa 11 September. Pemerintahan Bush telah mengetahui rencana aksi Salafi Jihadi. Namun pemerintahan Bush bukan hanya tidak melakukan pencegahan, bahkan mereka memasang bom di gedung kembar WTC sehingga kehancuran sepasang gedung tersebut lebih dramatis (informasi terkait mengenai fakta-fakta gelap peristiwa 11 September, dapat dibaca dalam majalah Eramuslim Digest edisi 2, The Dark Side of 911).

Modus serupa pun telah berulangkali terjadi di Indonesia. Pada dekade 1970-an, Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Moertopo menggalang sisa-sisa anggota Darul Islam (NII). Opsus awalnya merupakan operasi intelijen untuk proses rekonsiliasi antara Indonesia-Malaysia pada tahun 1966. Moertopo dibantu oleh Kemal Idris dan LB Moerdani (baca uraian Jendral Soemitro mengenai Opsus dalam buku “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974,” Heru Cahyono, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998).

Soeharto kemudian memberi tugas Moertopo untuk meredam setiap pihak yang mengancam stabilitas pemerintahan Orde Baru. Moertopo pun mengembangkan Opsus menjadi lembaga intelijen partikelir yang sering kali tidak terkoordinasi dengan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen). Kemandirian Opsus tercermin dari sumber pendanaan. Selain dari pemerintah, Opsus pun melakukan pendanaan sendiri, seperti melakukan penyelundupan barang secara besar-besaran dari Singapura.

Pemerintahan Soeharto yang berasal dari militer, hendak melanggengkan kekuasaan dan menciptakan stabilitas Indonesia. Stabilitas versi mereka ialah menyingkirkan setiap pihak yang dapat menghambat kepentingan rezim Orde Baru. Dengan hancurnya PKI, maka politik Islam berpotensi menjadi batu sandungan kepentingan rezim Orde Baru.

Opsus kemudian masuk ke sisa-sisa basis massa Darul Islam (NII). Mereka bukan sekedar menghimpun informasi, melainkan juga membangun jaringan dan melakukan penokohan. Tertangkapnya Kartosuwiryo di tahun 1962 membuat jaringan NII terpecah. Sebagian tokohnya tergiur oleh kesejahteraan dan bersedia dibina oleh Opsus. Mereka yang berhasil dibina Opsus antara lain Adah Zaelani (petinggi Ma’had Al-Zaytun).

Opsus memanfaatkan basis massa NII untuk memunculkan kasus-kasus radikalisme Islam. Tujuannya ialah menjatuhkan citra Islam politik, bahwa jika Islam sudah masuk ranah politik, sudah mengkritisi kebijakan pemerintah, dan berusaha untuk menegakkan syariah di setiap sendi kehidupan, maka Islam yang seperti itu merupakan radikal, perusuh, dan teroris. Untuk mengalihkan suara pemilih dari partai Islam menjadi ke Golkar pada pemilu 1977, dimunculkanlah kasus Komando Jihad (Komji) pada tahun 1976.

Moertopo berhasil memperdaya seorang petinggi Darul Islam, yaitu Haji Ismail Pranoto (Hispran) di Jawa Timur. Dengan alasan membendung ancaman komunisme dari Vietnam, Hispran diminta membentuk semacam laskar sipil. Ketika itu Vietnam Utara yang komunis berhasil mengusir tentara Amerika dari seluruh wilayah Vietnam pada tahun 1975. Hispran menerima tawaran Moertopo dengan pikiran bahwa tak apa jika untuk sementara bekerjasama dengan militer untuk menghadapi musuh yang lebih kuat yaitu komunis. Hal ini pun menurutnya merupakan kesempatan emas untuk memanfaatkan militer, minimal pengetahuan dan fasilitasnya. Namun yang terjadi justru Hispran yang dimanfaatkan. Ia dan pengikutnya tiba-tiba ditangkap dengan tuduhan subversif, yaitu membentuk laskar Komando Jihad untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.

Pada sidang pengadilan Ismail Pranoto di tahun 1978, terungkap bahwa kegiatannya adalah atas perintah dan biaya Ali Moertopo dalam rangka membentuk Front Pancasila Anti Komunis. Tim pembela kemudian meminta majelis hakim untuk menampilkan Ali Moertopo sebagai saksi. Tetapi majelis hakim menolaknya, sehingga Ismail Pranoto dijatuhi hukuman.

Modus lainnya ialah pada kasus Jamaah Imron. Ekstrimisme jihad Jamaah Imron digunakan untuk menjatuhkan citra Islam dan mengalihkan suara pemilih dari partai Islam menjadi ke Golkar pada pemilu 1982. Tahun 1980, Najamudin (intelijen dari kesatuan artileri medan) disusupkan ke pengajian yang dipimpin Imron di Cimahi. Salah seorang anggota pengajian Imron kemudian mengalami kecelakaan dan ditahan polisi. Najamudin lantas membawa setumpuk dokumen dan senjata, lalu memprovokasi sebagian anggota pengajian Imron untuk menyerang kantor polisi Cicendo, Bandung.

Pada saat penyerangan dilaksanakan, Najamudin justru tidak ikut. Para penyerang kemudian beristirahat di rumah Najamudin. Di tempat itu mereka ditangkap aparat keamanan, sementara Najamudin bebas. Akhirnya anggota pengajian Imron yang lain menangkap dan mengeksekusi Najamudin, dan berlanjut dengan pembajakan pesawat Garuda (Peristiwa Woyla). Kelompok ini kemudian ditumpas oleh LB Moerdani.

Dalam perkara pembunuhan terhadap Najamudin, tidak ada satu pun yang dijadikan tersangka. Dalam persidangan, hakim menolak membuka lebih jauh identitas Najamudin. Jaksa penuntut umum selalu mementahkan segala bentuk usaha untuk mengorek identitas Najamudin. Pengadilan juga menolak melakukan penyelidikan tentang pembunuhan terhadap enam orang pembajak. Selain itu juga tidak membenarkan para penumpang maupun awak pesawat memberikan kesaksiannya.

Pembajakan pesawat Garuda jenis DC-9 Woyla pada tahun 1981, bukan hanya semata-mata meminta pembebasan terhadap orang-orang yang menyerang Polsek Cicendo. Tetapi juga terhadap ribuan aktivis Islam yang telah ditahan sejak tahun 1977-1980. Hal tersebut diungkapkan tersangka penyerangan Polsek Cicendo (Iqbal dan Umar Abdoeh) dalam pembicaraannya dengan wartawan media massa Sinar Harapan. “Pembajakan untuk mengumumkan adanya perjuangan umat Islam karena kezaliman penguasa,” ujar mereka.

Stigmatisasi ala Komando Jihad terjadi pada kelompok pengajian pimpinan Imron bin Muhammad Zein ini. Sebagai sebuah kelompok, pemuda-pemuda bersemangat itu sama sekali tidak menyebut dirinya sebagai Jamaah Imron. Baru setelah pecah kasus penyerbuan Polsek Cicendo dan Pembajakan Woyla, kelompok ini diberi label Jamaah Imron oleh aparat keamanan.

Pada kasus Bom Bali 12 Oktober 2002, intelijen asing dengan komprador intelijen lokal memanfaatkan ekstrimisme jihad dari sisa-sisa jaringan JI. Saat itu dua buah bom meledak di Bali. Bom pertama meledak di Paddys Café, termasuk berdaya ledak rendah (low explosive). Disusul kemudian dengan ledakan bom berkekuatan sangat tinggi (high explosive) di Sari Club, Kuta. Saat itu pemerintah Bush tengah gencar merekrut negara-negara lain, salah satunya Indonesia, agar mau bergabung dalam perang melawan terorisme.

Khawatir akan reaksi umat Islam, pemerintah Megawati kala itu gamang merespon ajakan Bush. Lalu terjadilah Bom Bali sehingga Megawati pun ikut berperan aktif dalam kampanye perang melawan terorisme yang diusung Amerika. Segera terjadi berbagai penangkapan terhadap para aktivis Islam. Muncul pula persepsi di masyarakat umum bahwa orang-orang yang menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh, termasuk dalam hal politik, maka orang-orang tersebut berpotensi menjadi teroris.

Amrozi dan kawan-kawannya telah mengakui membom Paddys Café, yang berdaya ledak rendah. Namun mereka menolak sebagai pelaku yang meledakkan bom berkekuatan sangat tinggi di Sari Club. “Kami tidak memiliki kemampuan untuk membuat bom sedahsyat itu, ” ujar Imam Samudera. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ZA Maulani menyatakan bahwa yang meledak di Sari Club adalah bom mikro nuklir. Sementara yang memiliki akses nuklir hanyalah beberapa negara tertentu, seperti Amerika dan Israel. Joe Vialls, seorang investigator independen dari Australia, juga meyakini bom yang meledak di Sari Club adalah mikro nuklir karena ada efek cendawannya.

VI. Gerakan Islam dan Wacana Jihad di Beberapa Negara

Polemik perihal wacana jihad antar Gerakan Islam menimbulkan kasus yang unik di berbagai negara. Berikut ini sekilas gambarannya di beberapa negara.

Pertama, negeri muslim yang penguasanya khawatir bahwa Islam politik dapat mengancam kedudukannya. Kondisi ini dapat dikatakan merupakan gambaran mayoritas negera-negera muslim. Penguasanya tidak serta merta membenci Islam, yang mereka tidak sukai ialah jika aktivis Islam sudah masuk ranah politik. Bagi mereka, Islam cukup sampai tataran akhlak atau sebatas di lingkungan masjid. Sebagian negara-negara ini memiliki iklim kebebasan yang relatif baik, seperti Indonesia ataupun Pakistan. Sebagian lagi dipimpin penguasa dengan kecenderungan berlaku tiran, seperti Mesir dan juga Uzbekistan.

Negara-negara seperti Turki, Iran, ataupun Mauritania dimasukkan dalam kategori pertama ini. Turki dipimpin perdana menteri Recep Tayyib Erdogan dari Partai AKP yang merupakan partai bentukan Ikhwanul Muslimin. Namun Erdogan dan Partai AKP masih tidak berani menjadikan Islam sebagai dasar negara karena memperhitungkan kekuatan militer, opini umum masyarakat Turki, serta dukungan negara-negara Barat khususnya Uni Eropa. Iran walaupun menjadikan Islam sebagai dasar negara, namun bermazhab syiah. Sehingga dalam banyak hal berseberangan dengan Gerakan Islam ahlus sunnah wal jamaah, termasuk dalam aspek-aspek penerapan syariah. Karena itulah Turki dan Iran masuk dalam kategori pertama ini.

Republik Islam Mauritania (Al Jumhuriyah al Islamiyah al Mauritaniyah) adalah negara yang dipimpin junta militer. Berdasarkan Konstitusi tahun 1985, Islam merupakan agama negara dan syariah menjadi hukum negara. Namun banyak aktivis Islam dan ulama yang menilai Mauritania tidaklah dapat disebut sebagai negara Islam (khalifah). Mauritania memiliki kesamaan dengan Saudi Arabia. Penguasanya mendukung Islam, namun belum menerapkan Islam secara kaffah di setiap aspek kehidupan, contohnya di bidang politik dan pemerintahan. Jika Saudi Arabia memakai sistem pemerintahan kerajaan, maka Mauritania menggunakan demokrasi. Mauritania cenderung pro Amerika, bahkan sempat menjalin hubungan diplomatik dengan Israel di tahun 1999. Namun Mauritania akhirnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel pada Maret 2009 sebagai bentuk solidaritas atas serangan Israel ke Gaza pada Desember 2008 – Januari 2009.

Negara-negara dalam kategori pertama yang akan dijadikan pembahasan ialah Pakistan dan Uzbekistan.

Pakistan merupakan negara yang pernah akrab dengan milisi Islam, baik dengan mujahidin di Afghanistan ataupun pejuang di Kashmir. Kepatuhan pemimpin negara tersebut terhadap Amerika membuat Pakistan harus berseberangan dengan milisi yang sudah terlanjur memegang senjata. Akibatnya, kontak senjata pun tak terhindarkan antara milisi dengan militer Pakistan. Hal ini juga memanaskan kondisi sosial politik Pakistan. Masyarakat Pakistan tergolong memiliki kultur Islam yang kuat, militer pun sering kali melakukan kudeta. Kepatuhan pemimpin Pakistan terhadap Amerika, selain mendapat protes dari berbagai kelompok masyarakat, juga berpotensi memancing kudeta dari militer.

Ketika Amerika mencanangkan Perang Melawan Terorisme, Pervez Musharraf (presiden Pakistan) menindaklanjuti dengan menekan kelompok-kelompok di Pakistan yang mendukung Al Qaidah dan Taliban. Musharraf pun tak segan menggunakan kekuatan militer kepada pihak yang memprotes kebijakannya. Puncaknya adalah serbuan militer terhadap Masjid Laal (Merah) di Islamabad, ibu kota Pakistan pada tahun 2007.

Masjid Laal didirikan Maulana Abdullah di awal tahun 1970-an. Di masa pemerintahan Zia ul Haq, Masjid Laal memainkan peran penting dalam pemberian bantuan terhadap mujahidin Afghan. Setelah kematian Maulana Abdullah, kunci Masjid Laal dipegang dua anak lelakinya, Maulana Abdul Aziz dan Maulana Abdur Rasyid Ghazi. Dalam tragedi Masjid Laal, Abdur Rasyid Ghazi dan ratusan pengikutnya terbunuh, sementara Maulana Abdul Aziz ditahan.

Peristiwa tersebut memicu sentimen anti pemerintah. Para pendukung Taliban, terutama di wilayah perbatasan Afghanistan yang dihuni berbagai suku dengan otonomi luas, segera memanfaatkan peristiwa itu untuk menggalang dukungan. Serangan-serangan terhadap militer dan milisi pendukung pemerintah, semakin intensif.

Musharraf digantikan Asif Ali Zardari pada tahun 2008. Namun dukungan terhadap Taliban telah meluas. April 2009, Taliban Pakistan berhasil mendeklarasikan penerapan syariah Islam di Lembah Swat, barat laut Pakistan. Keberhasilan tersebut memicu semangat mereka untuk menjatuhkan wilayah-wilayah lain di Pakistan. Asif Ali Zardari kemudian mengelar operasi militer besar-besaran ke basis utama Taliban Pakistan di wilayah Waziristan. Menghadapi gempuran militer di Waziristan, Taliban Pakistan pun meluaskan serangannya secara sporadis, termasuk ke Islamabad. Beberapa perwira militer Pakistan terbunuh di Islamabad akibat aksi gerilyawan Taliban.

Pertempuran ini seakan menggeser format kekuatan Islam yang aktif menyerukan penerapan syariah. Jika sebelumnya partai Jamaat-e-Islami yang menjadi simbol perjuangan Islam di Pakistan, maka saat ini masyarakat melihat simbol itu telah beralih ke Salafi Jihadi (Taliban Pakistan). Jamaat-e-Islami (didirikan mendiang Abul A’la Al-Maududi) saat ini dipimpin Syed Munawar Hasan serta menggunakan jalan dakwah dan politik dalam gerakannya. Walaupun telah berdiri sejak tahun 1941 dan ikut berperan dalam kemerdekaan Pakistan di tahun 1947, namun Jamaat-e-Islami belum berhasil menempatkan kadernya menjadi pemimpin Pakistan.

Uzbekistan pun memiliki dua arus Gerakan Islam yang aktiv menyerukan penerapan syariah. Arus yang menjadikan jihad sebagai metode pergerakannya diwakili oleh Islam Movement of Uzbekistan (IMU). Sedangkan arus yang menjadikan dakwah dan politik sebagai metode pergerakannya diwakili oleh Hizbut Tahrir Uzbekistan (HTU). Namun Hizbut Tahrir tidak terlibat dalam pemilu dan proses demokrasi, karena mereka menganggap demokrasi merupakan sistem kufur. Walaupun demikian, mereka tidak seperti Salafi Jihadi yang menganggap kafir setiap orang yang terlibat dalam demokrasi. Seruan politik Hizbut Tahrir disampaikan melalui berbagai sarana dakwah lisan maupun tulisan.

Basis utama perlawanan IMU ialah Lembah Ferghana, sebuah wilayah yang tidak hanya dimiliki Uzbekistan. Sebagian dari lembah ini dimiliki oleh Tajikistan dan bagian lainnya dimiliki oleh Kyrgiztan. Bibit IMU sudah lahir puluhan tahun lalu ketika penentangan terhadap rejim komunis Uni Zoviet mulai dikibarkan di Lembah Ferghana. Salah seorang pemimpin IMU adalah Jumaboy Ahmadjonovich Khojiyev alias Juma Namangoniy. Jumaboy juga veteran Jihad Afghan dan terlibat dalam pengusiran Uni Soviet dari Afghanistan.

IMU turut membantu United Tajik Opposition (UTO) yang dipimpin Sayed Abdullo Nuri dalam Perang Saudara di Tajikistan (1992 – 1997). Perang antara pemerintahan Emomali Rahmonov (didukung Russia) melawan UTO tersebut menewaskan puluhan ribu orang. UTO merupakan aliansi antara kaum Islamis (diwakili Islamic Renaissance Party) dengan kaum demokrat dalam melawan neo komunis. Ditengah keletihan rakyat akan perang saudara, akhirnya kedua pihak berdamai di Moskow. Salah satu butir perdamaian itu menyatakan UTO memperoleh 30 persen kursi di kabinet presiden Rahmonov.

Rahmonov tetap berkuasa di Tajikistan karena rakyat lebih memilih stabilitas (walaupun dengan kediktatoran) daripada perang saudara yang berkepanjangan. Setelah mendapatkan sejumlah kursi di kabinet, UTO (termasuk Islamic Renaissance Party) menjadi lebih lunak terhadap Rahmonov. Namun IMU tetap melanjutkan misi jihadnya. Selain membantu UTO di Tajikistan, IMU juga menantang presiden Kyrgiztan, Askar Akayev pada tahun 2000. Sama seperti terhadap pemerintahan sekuler Uzbekistan, IMU juga menyatakan siap perang jihad menghadapi pemerintahan Askar.

Sementara itu Hizbut Tahrir di Uzbekistan, Tajikistan, dan Kyrgiztan, walaupun menjadikan dakwah sebagai metode gerakannya, namun mereka tetap mendapatkan status ekstrimis dari pemerintah setempat. Sebagaimana Ikhwanul Muslimin, penangkapan dan penyiksaan yang mendera anggotanya, juga tidak dibalas dengan perlawanan bersenjata oleh Hizbut Tahrir.

Selama pemerintahan Presiden Karimov, puluhan ribu muslim dan muslimah ditahan di Uzbekistan tanpa proses peradilan. Ratusan lainnya pun dibunuh di luar peradilan. Polisi Uzbekistan menggunakan sengatan listrik, pukulan, dan perkosaan untuk memaksa pengakuan. Mereka membuat sesak nafas dengan tas plastik, menyiram dengan gas klor, atau mematikan ventilasi udara di sel bawah tanah. Mereka menggantung pada pergelangan tangan dan kaki secara telanjang, serta suntikan dengan darah terinveksi HIV, terhadap tahanan yang tetap shalat dan menolak mengajukan permohonan maaf kepada Karimov. Banyak tahanan yang mati di penjara dengan tangan yang tak lagi berkuku, demikian papar Steve Crawshaw, direktur Human Rights Watch London. Catatan kekejaman Karimov ini berkali-kali disampaikan oleh beberapa lembaga hak-hak sipil dan HAM. Dubes Inggris di Uzbekistan, Craig Murray pernah mengatakan, rezim Karimov sering mendidihkan orang sampai mati.

Saat terjadi unjuk rasa di Andijan pada tahun 2005, Karimov memerintahkan penembakan terhadap ratusan pengunjuk rasa. Korban penembakan mencapai lebih dari 500 orang. Seperti dalam kasus-kasus sebelumnya, Karimov langsung menuduh Hizbut Tahrir sebagai dalang di balik kerusuhan tersebut. Hizbut Tahrir pun membantah tuduhan tersebut. Imran Waheed, wakil Hizbut Tahrir di Inggris menyatakan: “Hizbut Tahrir menolak mentah-mentah kekerasan, militansi, atau perjuangan bersenjata sebagai cara untuk mendirikan kembali Khilafah Islam. Selama beberapa dekade, Hizb telah mengalami penindasan di dunia Islam, namun tetap tidak pernah mengubah metodenya, dan tetap berjuang tanpa kekerasan. Dengan menyalahkan Hizbut Tahrir, Karimov ingin mengalihkan perhatian dari pembunuhan berdarah dingin atas ratusan pemrotes sipil di Andijan, termasuk wanita dan anak yang tak bersenjata.”

Perjuangan Kebangkitan Islam di negara-negara dalam kategori pertama ini lebih ideal menggunakan pola non kekerasan. Gerakan Islam yang menggunakan kekerasan akan menimbulkan korban jiwa sesama muslim. Gerakan Islam bisa melakukan ‘bughat’ jika terjadi kasus seperti Afghanistan di tahun 1979. Penguasa komunis Afghanistan kala itu bermaksud melenyapkan Islam dari bumi Afghan dan menggantinya dengan paham Komunisme. Hal itu pun dilakukan dengan cara kekerasan dan bahkan menggunakan bantuan pasukan negara kafir (Uni Sovyet). Di saat seperti itulah Gerakan Islam dapat melakukan perjuangan bersenjata.

Kedua, negeri muslim yang mengalami penjajahan. Palestina, Irak, dan Afghanistan mewakili kategori ini. Dalam kategori pertama masih terdapat perbedaan sikap antar Gerakan Islam, apakah menggunakan dakwah dan politik untuk mewujudkan berdirinya negara Islam, ataukah menggunakan jihad bersenjata. Namun dalam kategori kedua ini, umumnya Gerakan Islam sepakat untuk menggunakan jihad bersenjata membela negara Islam dari serangan penjajah kafir.

Namun kasus blok Ikhwan yang bergabung dengan Aliansi Utara di Afghanistan menjadi kekhasan yang sangat rumit. Juga pertikaian senjata antara Hamas dan Jundu Ansharullah di Palestina. Kasus-kasus di atas memunculkan ruang perdebatan mengenai kerjasama dengan kafir (harbi) dalam melawan sesama golongan Islam. Juga strategi jihad antara yang frontal dengan yang memilih untuk tarik ulur sambil mempertimbangkan opini masyarakat internasional. Hal-hal tersebut berada dalam koridor ijtihadiyah yang berhak diputuskan pimpinan Gerakan Islam dengan mempertimbangkan dalil-dalil syar’i yang ada. Namun ketika ekstrimisme jihad yang mewarnai ijtihad tersebut, maka pertumpahan darah antara sesama muslim menjadi tak terhindarkan seperti yang terjadi di Afghanistan dan Palestina.

Ketiga, negeri muslim yang dipimpin boneka negara kafir. Chechnya mewakili kategori ini, namun masalah menjadi rumit jika berkenaan dengan Somalia. Salafi Jihadi menganggap presiden Somalia, Syaikh Syarif Ahmad sebagai pemimpin boneka Amerika. Namun Ikhwan diwakili Yusuf Al Qaradhawi memberikan dukungan terhadap Syaikh Syarif.

Somalia telah dilanda perang saudara berkepanjangan sejak dekade 1970-an. Pemerintahan militer Somalia akhirnya runtuh di tahun 1991. Kerusuhan dan konflik internal berkembang hebat, milisi-milisi yang dipimpin warlords (panglima perang) dan milisi-milisi berbasis klan (kabilah) menguasai wilayah masing-masing, bahkan ada yang mengklaim kemerdekaan wilayahnya. Pertempuran antar milisi menimbulkan ratusan ribu korban sehingga PPB menurunkan pasukan keamanan pada tahun 1992.

Beberapa kekuatan asing, seperti Amerika dan Ethiopia berusaha untuk menancapkan pengaruh. Namun mereka gagal mendominasi negara tersebut. Belasan kali pemerintahan transisi telah dibentuk dan didanai lembaga internasional, namun juga gagal semua. Pemerintahan transisi yang berpusat di Baidoa merupakan otoritas de jure yang diakui negara-negara internasional. Namun Somalia tetap terpecah, tidak ada pemerintahan yang secara de facto mengendalikan seluruh wilayah negara tersebut.

Di tengah ketidakpastian hukum, ulama Somalia Syaikh Muhammad Muallim Hasan berupaya mendirikan Mahkamah Islam di wilayah Tortigli, selatan Mogadeshu di tahun 1991. Namun warlords terkuat saat itu, Jenderal Muhammad Farah Aidid (terbunuh di tahun 1996) yang menguasai selatan kota, menggagalkan upaya tersebut karena dianggap akan melemahkan kekuasaannya.

Tahun 1994, Mahkamah Islam berhasil didirikan di wilayah utara Mogadeshu. Syaikh Ali Mahmud menjadi ketua mahkamah dan berhasil mendapat dukungan penuh dari beberapa kabilah di wilayah utara. Mahkamah Islam mulai beroperasi menangani berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat dengan mengacu pada syariah Islam.

Tahun 1997, Ali Mahdi Muhammad (salah seorang warlords) menentang berdirinya mahkamah. Seluruh sayap Mahkamah Islam dibubarkan dengan dukungan pemerintah Ethiopia. Kejadian ini melahirkan ide untuk mendirikan Mahkamah Islam dalam lingkup yang lebih kecil, yakni di setiap kabilah. Semua kabilah yang menghendaki Mahkamah Islam dapat mendirikannya sendiri-sendiri.

Tahun 2001, berbagai kabilah telah berhasil mendirikan Mahkamah. Mahkamah-mahkamah tersebut pun memiliki milisi yang menopang otoritasnya. Hal ini memompakan kembali semangat untuk mendirikan Mahkamah Islam di Mogadeshu. Tahun 2005, dibentuklah Majelis Tinggi Uni Mahkamah Islam (Ittihad Mahakim Syar’iyyah) di Mogadeshu yang merupakan aliansi 11 Mahkamah Islam, dan dipimpin oleh Syaikh Syarif Ahmad.

Kemunculan dan kekuatan Uni Mahkamah Islam di Somalia sangat fenomenal. Selain karena kondisi Somalia yang masih carut-marut, Uni Mahkamah Islam pernah beberapa kali dibekukan oleh panglima perang (warlords) Somalia. Kelahiran kembali Uni Mahkamah Islam ini didukung oleh kondisi negara yang sangat lemah serta tidak adanya sentralisasi kekuatan pemerintah dan supremasi hukum di Somalia. Uni Mahkamah Islam memberikan harapan pada masyarakat bahwa syariah Islam merupakan jalan menuju stabilitas negara.

Saat itu Mogadeshu dikuasai aliansi warlords bayaran Amerika yang tergabung dalam ARPCT (Alliance for the Restoration of Peace and Counter-Terrorism). Juni 2006, milisi Islam dari Uni Mahkamah Islam berhasil menguasai Mogadeshu. Milisi Islam adalah kelompok pertama yang mengendalikan semua daerah Mogadeshu sejak runtuhnya pemerintahan Muhammad Siad Barre di tahun 1991. Milisi Islam pun berhasil menguasai sebagian besar wilayah selatan Somalia melalui perundingan dengan klan-klan setempat.

Pangkalan terakhir ARPCT di Jowhar pun berhasil direbut. Beberapa jam setelah jatuhnya kota Jowhar, parlemen transisi Somalia di Baidoa menyepakati kedatangan pasukan asing untuk melucuti senjata milisi Islam. Keputusan tersebut disambut demontrasi oleh Uni Mahkamah Islam. Sekitar 7.000 demonstran berkumpul di Jalan Lenin, Mogadeshu Selatan, untuk memprotes penempatan pasukan asing tersebut. Syaikh Abdul Qadir, wakil ketua Uni Mahkamah Islam mengatakan, “Keputusan parlemen tentang penempatan pasukan asing di Somalia, sama saja dengan mengobarkan perang baru di Somalia.” Dalam demonstrasi tersebut, turut hadir sejumlah ulama besar Somalia. Diantaranya Syaikh Ahmad Ali Jeisi dari Ikatan Ulama Somalia dan Syaikh Ahmad Thasu, kepala Dewan Ulama Somalia. Syaikh Ahmad Thasu bahkan menyerukan seluruh kabilah Somalia untuk menarik wakil-wakil mereka di parlemen transisi.

Namun pasukan asing tetap memasuki Somalia. Akhir tahun 2006, pertempuran hebat terjadi antara milisi Islam melawan tentara Ethiopia yang didukung milisi pemerintahan transisi. Serangan tentara Ethiopia didukung oleh tank dan pesawat jet, bahkan militer Amerika pun turut membombardir milisi Islam pada Januari 2007. Milisi Islam akhirnya mundur dari Mogadeshu walaupun terus mengadakan perlawanan sporadis sampai pertengahan tahun 2008.

Berbagai seruan muncul dari luar negeri, antara lain Liga Arab, agar masing-masing pihak dapat menyelesaikan konflik di meja perundingan. Memasuki tahun 2009, Uni Mahkamah Islam dipimpin Syaikh Syarif Ahmad melakukan perundingan dengan pemerintahan transisi. Perundingan di lakukan di negara Djibouti dengan perantara PBB. Hasil perundingan antara lain pasukan Ethiopia ditarik mundur dari Somalia dan digantikan pasukan keamanan dari African Union. Uni Mahkamah Islam bersedia melebur dalam pemerintahan transisi Somalia dan memperoleh 200 kursi di parlemen. 31 Januari 2009, parlemen transisi memilih Syaikh Syarif Ahmad sebagai presiden Somalia. Syaikh Syarif kemudian menempatkan Omar Abdirashid Ali Sharmarke sebagai perdana menteri.

Syaikh Syarif Ahmad bersedia bergabung dengan pemerintahan transisi yang didukung Barat karena melihat sebelumnya Uni Mahkamah Islam telah dijadikan musuh bersama. Saat Uni Mahkamah Islam berhasil menguasai Mogadeshu di tahun 2006, Amerika langsung menyebut Uni Mahkamah Islam sebagai organisasi teroris yang menginduk pada jaringan Al Qaidah. Di hadapan para pemimpin Afrika yang bertemu di Addis Abeba, Syekh Syarif mengatakan, “Manhaj kami moderat dan menolak kekerasan. Untuk itu kami berusaha untuk merangkul seluruh kalangan dalam menciptakan kedamaian dan keamanan di Somalia.”

Namun bergabungnya Syaikh Syarif ke pemerintahan transisi membuat sebagian faksi di milisi Islam memusuhinya. Februari 2009, faksi-faksi yang dimotori kelompok Al-Shabab tersebut mengumumkan perang terhadap presiden baru Somalia, Syaikh Syarif Ahmad. Dalam konferensi pers, ketua Gerakan Al-I’lam li Al-Idarah Al-Islamiah di Kisimayo, Syekh Hasan Ya’qub mengumumkan akan terus memerangi pemerintahan baru, hingga syariah Islam diterapkan di seluruh wilayah Somalia.

Hasan Ya’qub mengatakan, “Pada tahun 2006, Syaikh Syarif pernah mendeklarasikan perang melawan militer Ethiopia yang dibantu oleh kekuatan Amerika. Akan tetapi hari ini ia lebih memilih keridhaan Amerika dari pada keridhaan Alloh. … Syaikh Syarif telah bersumpah dengan undang-undang pemerintahan transisi Somalia, yang pada tahun 2006 ia sebut sebagai UU sekular, dan ia tunduk pada musuh.”

Hasan Ya’qub menuding campur tangan asing di Somalia justru memperparah konflik. Karena sejak Uni Mahkamah Islam menguasai Somalia di tahun 2006, dunia telah menjadi saksi keamanan di Somalia. Hasan mengatakan, “Naiknya Syaikh Syarif sebagai presiden Somalia untuk menciptakan keamanan adalah tindakan ‘menggarami air laut,’ karena Somalia telah aman. Apalagi bila Syaikh Syarif tidak mampu mengubah UU sekular pemerintahan transisi, maka hal ini ditolak oleh para mujahidin dan seluruh rakyat Somalia.”

Di sisi lain, ketua Persatuan Ulama Islam Internasional, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi meminta agar pihak-pihak bertikai di Somalia mampu menghilangkan konflik melalui jalur dialog. Persatuan Ulama Islam Internasional menyatakan siap menjadi perantara perdamaian antara pemerintahan baru Somalia dengan para oposisinya. Dalam pernyataan tertulis, Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan, “Terpilihnya presiden baru Somalia akan menjadi titik awal persatuan Somalia. … Syaikh Syarif berhak menjadi Presiden Somalia dan ia sangat pantas menjabatnya. Karena kepribadiannya baik dan ia dipilih oleh masyarakat.” Untuk itu Qaradhawi menyeru agar seluruh faksi Somalia bisa bahu-membahu bersama Syaikh Syarif menciptakan kemaslahatan bagi Somalia, meninggalkan sukuisme dan perpecahan partai.

Maret 2009, pemerintah Somalia mengumumkan akan diberlakukannya hukum syariah. Rapat kabinet yang dihadiri 20 dari 36 menteri negara dan dipimpin langsung Perdana Menteri Omar Abdirashid Ali Sharmarke, telah menyetujui rencana penerapan hukum syariah. Tinggal menunggu proses ratifikasi dari parlemen sehingga hukum syariah resmi diberlakukan di Somalia. Presiden Syarif menyatakan, pembicaraan damai dengan kelompok-kelompok Islamis oposisi sudah mencapai kemajuan dengan disetujuinya penerapan hukum syariah di Somalia.

Namun kelompok Al-Shabab tetap menyerukan perlawanan terhadap pemerintahan Somalia. Al-Shabab sudah menerapkan hukum syariah di beberapa wilayah di selatan Somalia yang berada dalam kekuasaannya. Al-Shabab menuding Syaikh Syarif sebagai pemerintahan boneka yang didukung kekuatan-kekuatan asing. Al-Shabab berulang kali menyebut pemerintahan Somalia sebagai pemerintah murtad.

Al-Shabab merupakan kelompok Salafi Jihadi yang berafiliasi ke Al Qaidah. September 2009, helikopter Amerika menyerang wilayah Al-Shabab dan menewaskan salah seorang pejuangnya yang berasal dari Kenya. Al-Shabab pun menyerukan undangannya pada mujahidin di luar Somalia untuk bergabung bersama mereka di Somalia. “Kami mengundang semua mujahidin di seluruh dunia untuk datang ke Somalia,” seru Syaikh Mahad Abdikarim, panglima Al-Shabab di wilayah Bay dan Bakol dalam sebuah konferensi pers. “Jika orang-orang Burundi dan Uganda yang bukan muslim itu pun diizinkan tinggal di Somalia, siapa yang akan menolak saudara kami sesama muslim untuk bergabung dengan kami dalam jihad?” lanjutnya.

Panglima Al-Shabab ini dengan lantang menyatakan, “Siapapun yang mengamini bahwa Amerika memiliki hak veto (maksudnya, Amerika dengan sekehendaknya bebas melakukan penyerangan), maka ia adalah bagian dari orang-orang kafir.”

Somalia tetap berkubang dalam pergolakan. Walau relatif lebih tenang, namun pemerintah belum dapat mengontrol seluruh wilayah Somalia. Masih ada milisi-milisi yang secara otonom memisahkan diri dari pemerintah Somalia. Gerakan-gerakan Islam pun berbeda pendapat mengenai pemerintahan Syaikh Syarif yang didukung Barat. Salafi Jihadi menganggap Syaikh Syarif sebagai pemimpin boneka Amerika. Namun Ikhwanul Muslimin diwakili Yusuf Al Qaradhawi memberikan dukungan terhadap Syaikh Syarif. Dukungan diberikan selain karena Syaikh Syarif adalah pemimpin Uni Mahkamah Islam, juga karena stabilitas lebih diutamakan daripada pertikaian berdarah antar sesama muslim.

Keempat, negeri non muslim dimana terdapat muslim minoritas yang merupakan penduduk asli di negara tersebut. China, Philipina, dan Thailand mewakili kategori ini.

Islam masuk ke negeri China sekitar abad ke-7 M di masa Khulafaur Rasyidin. Banyak tokoh-tokoh muslim yang menorehkan panggung sejarah di negeri tersebut. Beberapa gubernur Dinasti Yuan adalah muslim, begitu pula Dinasti Ming memiliki jenderal-jenderal muslim, pada abad ke-15 M terdapat Laksamana Cheng Ho (Zheng He) dan Ma Huan (penulis kronik sejarah) yang juga muslim. Namun umat Islam di China pun tak lepas dari berbagai penindasan yang dilakukan penguasa, antara lain di masa Dinasti Qing (1644-1911) dan Republik Rakyat China (China Komunis).

Mao Tse Tung berhasil mendirikan Republik Rakyat China pada tahun 1949. Komunis China menganggap agama adalah candu, tak terkecuali Islam. Syi’ar-syi’ar Islam dilarang, mushaf-mushaf Al Qur’an dibakar, masjid-masjid ditutup, penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan pun banyak mendera umat Islam.

Setelah kematian Mao Tse Tung, China mulai melonggarkan kebijakannya terhadap kalangan muslim. Muslim China mulai dapat menjalankan syi’ar dan ibadah Islam. Hal ini terutama sejak era bergugurannya rezim-rezim komunis dunia. Komunis China berhasil bertahan karena hanya menerapkan pola komunis dalam sistem politik (sistem satu partai). Dalam hal ekonomi, China cenderung melakukan liberalisasi. Aroma liberalisasi ini juga mengimbas kondisi sosial dan budaya masyarakat walau tetap dalam pengawasan ketat pemerintah.

Namun kelonggaran kebijakan terhadap muslim China tidak berlaku merata. Berdasarkan sensus di tahun 2.000, sekitar 48% muslim China merupakan orang Hui. Istilah Hui awalnya merupakan sebutan bagi orang Islam yang hidup di negeri China pada zaman Dinasti Yuan. Secara fisik dan bahasa, orang Hui memiliki kesamaan dengan orang Han (etnis mayoritas China). Orang Hui tersebar di berbagai wilayah di China, dan relatif bebas menjalankan syi’ar serta ibadah Islam.

Namun masih terdapat suku Uyghur, Kazakh, Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik, Uzbeks, Bonan, Tatar, dan juga Tibet Muslim dalam barisan muslim China. Mereka berbeda secara fisik dan bahasa dengan suku Han. Mereka menjadi bagian dari China akibat politik ekspansi China yang mencaplok wilayah-wilayah sekitarnya baik di zaman kekaisaran maupun di era Komunis. Umumnya mereka tersebar di propinsi-propinsi sebelah barat China. Merekalah yang sering menjadi sasaran kecurigaan dan penindasan penguasa China, terutama muslim Uyghur.

Sekitar 41% muslim China adalah orang Uyghur. Mereka tinggal di wilayah Xinjiang (Perbatasan Baru), namun orang Uyghur lebih suka menyebut wilayahnya sebagai Turkistan Timur. Turkistan Timur memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Mineral yang terkandung di Turkistan Timur telah menyokong tulang punggung perekonomian Cina. Diantara kandungan bumi Turkistan Timur ialah minyak bumi, batu bara, besi, emas, dan juga uranium.

Orang Uyghur menolak berada di bawah pemerintahan China bukan karena mereka berbeda etnik dengan orang Han. Namun terutama akibat diskriminasi yang dilakukan pemerintahan China. Pemerintah China telah banyak mengeruk hasil bumi Turkistan Timur, namun mereka tidak memperlakukan orang Uyghur sama seperti orang Han. Berbagai pembangunan infrastruktur dan juga fasilitas kesehatan sangat minim dirasakan orang Uyghur.

Rezim komunis Cina membatasi orang Uyghur untuk menduduki jabatan pemerintahan serta mencegah mereka dari berhubungan dengan kaum muslimin lainnya di luar Turkistan Timur. Sementara itu, sejumlah besar orang Han dikirim ke Turkistan Timur dan bahkan diberikan berbagai fasilitas sehingga mampu mendominasi politik dan ekonomi Turkistan Timur.

Berulang kali terjadi kerusuhan antara orang Uyghur dan Han. Kerusuhan pada Juli 2009 telah menewaskan ratusan korban, disusul berbagai penangkapan terhadap orang Uyghur. Hal ini pun memberi celah bagi Salafi Jihadi untuk bergerak di Turkistan Timur. Sebuah kelompok jihad yang menamakan dirinya Hizb al-Islam Turkistani, telah mengumumkan perlawanan terhadap rezim komunis China. Mereka bahkan mengundang seluruh kaum muslimin agar datang ke Turkistan Timur dan berjihad bersama melawan rezim Komunis Cina.

Kondisi muslim Uyghur di China menjadi kajian yang pelik karena di sisi lain terdapat muslim Hui yang dapat berbaur dengan etnis mayoritas tanpa harus kehilangan identitas diri. Kondisi serupa juga terjadi di Thailand dan Philipina. Muslim Pattani di selatan Thailand dan muslim Moro di selatan Philipina juga mendapatkan diskriminasi sehingga muncul keinginan untuk memerdekakan diri. Namun terdapat pula muslim di utara Thailand dan Philipina yang dapat berbaur dengan etnis mayoritas tanpa harus kehilangan identitas diri.

Kasus serupa juga terdapat di India yang memiliki komunitas muslim Kashmir dan juga sebaran populasi muslim di beberapa wilayah lain di India. Namun pergolakan muslim India melawan penguasa ataupun penganut agama mayoritas (Hindu), bukan saja terjadi di Kashmir. Kerusuhan antara muslim dengan penganut Hindu (yang didukung pemerintah) juga kerap terjadi di luar Kashmir, diantaranya Kerusuhan Gujarat pada tahun 2002 yang menewaskan ribuan orang.

Idealnya memang menjadi tugas bagi suatu negara muslim untuk memberikan dukungan politik, investasi ekonomi, serta bantuan pendidikan bagi komunitas muslim dalam kondisi seperti tersebut di atas. Namun saat ini belum ada negara muslim yang mampu menjalankan peran tersebut secara optimal. Tanpa harus menunggu tegaknya Khilafah Islamiyah, gerakan-gerakan Islam pun harus memainkan perannya.

Salafi Jihadi dengan lantang telah menunjukkan dukungan bagi setiap gerakan perlawanan lokal yang hendak memisahkan diri dari negara induk yang kafir, seperti di Kashmir ataupun di Philipina Selatan. Sedangkan gerakan Islam lainnya sebagian masih sebatas memperjuangkan agar muslim minoritas mendapatkan pengakuan hak-haknya sebagai komunitas otonom yang memiliki kekhasan identitas muslim.

Dalam kategori keempat ini memang harus dibuat batasan sampai sejauh mana perjuangan non kekerasan dapat berubah menjadi perjuangan bersenjata menuntut kemerdekaan. Seperti batasan dalam kategori pertama, jika penguasa sudah menggunakan kekerasan untuk melenyapkan Islam, maka saat itulah Gerakan Islam dapat mengangkat bendera perang, Jihad fi Sabilillah.

Kelima, negeri non muslim yang terdapat warga pendatang muslim. Umumnya, hampir seluruh negara non muslim masuk dalam kategori ini.

Secara umum, orang Islam dilarang pergi dan menetap di negara kafir, kecuali jika orang Islam tersebut merupakan komunitas asli yang menempati salah satu wilayah di negara kafir tersebut, seperti Pattani di Thailand atau Moro di Philipina. Rasulullah saw bersabda: “Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal di tengah-tengah musyrikin” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan dishahihkan Al-Albani).

Namun terdapat beberapa kekecualian bagi muslim yang hendak pergi dan menetap di suatu negera kafir. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan bahwa muslim yang bepergian ke negeri kafir harus memiliki ilmu untuk menolak syubhat, mempunyai agama untuk menjaga dari syahwat, dan bepergiannya karena kebutuhan, seperti berobat atau belajar ilmu yang tidak didapati di negerinya. Apabila safarnya ke negeri kafir hanya untuk berwisata, maka hal ini bukanlah sebuah kebutuhan. Yusuf Al Qaradhawi pun melarang muslim yang tinggal di negara kafir sekedar untuk mengumpulkan harta tanpa mencari persaudaraan dengan saudara-saudara muslimnya.

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarh Tsalaatsatil-Ushul juga menyatakan bahwa tinggal di negeri kafir dibolehkan jika memenuhi beberapa syarat. Yaitu memiliki iman dan ilmu sehingga terjaga agamanya dan tidak memberikan loyalitas terhadap orang-orang kafir. Selain itu juga mampu menampakkan agamanya dan menjalankan ibadah serta syi’ar Islam lainnya. Bila dia tidak mampu memenuhi syarat-syarat ini, maka wajib baginya hijrah ke negara muslim. Sedangkan bagi muslim yang mampu berdakwah dan menampakkan agamanya, serta membawa kemaslahatan yang banyak bagi kaum muslimin. Maka ia disunnahkan untuk tetap tinggal di negeri kafir tersebut.

Pada banyak negara, para pendatang muslim ternyata memang berhasil mengislamkan penduduk asli. Perkembangan penduduk muslim di Amerika dan negara-negara Eropa terus meningkat. Situasi menjadi sulit ketika terjadi peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, bom di Madrid (Spanyol) tahun 2004, dan bom di London (Inggris) tahun 2005. Walaupun pemeluk Islam tetap mengalami peningkatan di negara-negara itu, namun citra teroris dan bahkan intimidasi serta tindak kekerasan kerap menerpa penduduk muslim di negara-negara tersebut.

Al Qaidah dan jaringannya menjadikan Amerika dan Eropa Barat sebagai zona perang. Sementara gerakan-gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jama’at Tabligh menjadikan wilayah-wilayah tersebut sebagai salah satu medan dakwah. Ikhwan dan Hizbut Tahrir berpendapat bahwa kalau pun hendak menjadikan Amerika atau Darul Harbi lainnya sebagai zona perang, maka peperangan tersebut harus dilakukan oleh negara. Sehingga ketika terjadi hijrah penduduk muslim dari Darul Harbi, maka sudah ada negara muslim yang siap untuk menampungnya.

VII. Khatimah

Tahun 1430 H akan segera berakhir, kondisi umat Islam saat ini masih jauh dari cita-cita gemilang Kebangkitan Islam. Namun para ulama dan aktivis Islam tetap meyakini bahwa abad ke-15 Hijriah merupakan abad Kebangkitan Islam. Saat ini misi Kebangkitan Islam masih diusung oleh gerakan-gerakan Islam. Gerakan-gerakan Islam tersebut meyakini bahwa mereka akan dapat mewujudkan kembali suatu Khilafah ‘ala minhaj Nubuwah, suatu negara Islam yang berdasarkan manhaj Kenabian. Negara tersebutlah yang akan mengusung misi Kebangkitan Islam, yang akan meninggikan Islam di atas segala agama-agama, dan tidak ada lagi fitnah sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Alloh swt.

Hari ini gerakan-gerakan Islam masih belum seiring sejalan. Namun mereka tetap memiliki persamaan. Mereka adalah penerus rantai gerakan purifikasi yang menjaga keaslian Islam. “Sesungguhnya Alloh akan mengutus kepada umat ini pada tiap-tiap seratus tahun orang yang memperbaharui (Tajdid) agama mereka” (HR Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, hadits ini shahih, lihat Shahih Jami’ Shagir). Para mujadid (pembaharu) seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Imam Ahmad bin Hambal, Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain, diteruskan oleh Hasan Al Banna (Ikhwan), Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Salafiyun), atau pun Taqiyuddin Nabhani (Hizbut Tahrir).

Para Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) memiliki hubungan sebagai guru dan murid. Begitu pula gerakan-gerakan Islam hari ini, mereka saling mewariskan ide dan menginspirasi satu sama lain. Ikhwan, Hizbut Tahrir, dan Al Qaidah memiliki kesamaan ide mengenai Pan-Islamisme dalam Khilafah Islamiyah. Salafiyun menjadikan Salafi sebagai referensi gerakannya, begitu pula Al Qaidah yang menjadikan Salafi sebagai identitas jihadi-nya. Hasan Al-Banna pun menegaskan bahwa Ikhwan adalah Dakwah salafiyah (dakwah salaf), Thariqah sunniyah (jalan sunnah), Hakikat shufiyah (hakikat sufi), Hai’ah siyasiyah (lembaga politik), Jama’ah riyadhiyah (kelompok olahraga), Rabithah ‘ilmiyah tsaqafiah (ikatan ilmiah berwawasan), Syirkah iqtishadiyah (perserikatan ekonomi), dan Fikrah ijtima’iyah (pemikiran sosial).

Kebangkitan Islam merupakan kebangkitan peradaban Islam yang mencakup segala aspek. Perjuangan menuju Kebangkitan Islam tidak dapat hanya menggunakan politik semata, atau jihad saja, atau bahkan sekadar mengadakan pengajian. Menuntut ilmu, jalan politik, dan perjuangan jihad harus digunakan secara bersinergi. Kegagalan jalan demokrasi dalam kasus partai FIS di Aljazair, kegagalan jalan kudeta di Mesir (yang menaikkan Nasser) dan Sudan (yang menaikkan Umar al-Bashir), serta kegagalan jalan revolusi di masa pemerintahan mujahidin Afghanistan, merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi Gerakan Islam.

Saat ini gerakan Salafiyun lebih identik sebagai kelompok pro penguasa. Gerakan Salafi Jihadi pun telah menjadi musuh bersama akibat label teroris yang melekat pada mereka. Sedangkan partai-partai Ikhwanul Muslimin mengalami kemunduran di beberapa negara.

Partai politik Ikhwanul Muslimin di Yordania, yaitu Islamic Action Front (Jabhat al-’Amal al-Islami), mengalami kekalahan telak pada pemilu tahun 2007. Perolehan suaranya jauh lebih rendah daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Hal ini pun terjadi di Kuwait pada pemilu tahun 2009. Partai Ikhwanul Muslimin kehilangan 2 kursi, setelah sebelumnya memiliki 3 wakil di parlemen. Di Indonesia, partai Ikhwan (PKS) telah kehilangan tajinya akibat pragmatisme politik yang menjadikan kenyamanan berkoalisi dengan penguasa sebagai parameter setiap keputusan.

Ikhwanul Muslimin di beberapa negara saat ini cenderung berusaha agar diterima semua golongan dan tidak jadi musuh bersama. Namun sayangnya, Ikhwan merangkul golongan-golongan tersebut tanpa membuat prioritas berdasarkan wala (kesetiaan) mereka terhadap Islam. Berbagai golongan pro liberal, anti tajdid (yang membela bid’ah dan khurafat), dan bahkan oportunis pun hendak dirangkul Ikhwan.

Menghimpun berbagai golongan memang merupakan modal mencapai kemenangan. Namun kemenangan Islam hanya berasal dari pertolongan Alloh swt semata. Dan pertolongan Alloh jatuh pada mereka yang memiliki kekuatan akidah. Sehingga aliansi yang hendak dibangun, seharusnya diprioritaskan kepada ulama, aktivis Islam dan Gerakan Islam yang teguh menjaga akidah dan keikhlasan.

Saat Nabi saw mendirikan negara Madinah, beliau tidak khawatir akan dijadikan musuh bersama oleh bangsa Arab lainnya. Hal ini ditopang oleh pembinaan akidah yang beliau Saw lakukan kepada komunitas Islam selama 13 tahun. Hari ini pun negara Iran tetap tegak berdiri walau sudah dijadikan musuh bersama oleh Amerika. Bahkan China berhasil mengambil keuntungan dagang dari negara-negara yang diembargo oleh Amerika. Banyak pula kalangan masyarakat yang masih memiliki hati nurani di Amerika dan Eropa. Merekalah yang mempelopori pembukaan berbagai skandal dan kebohongan yang dilakukan pemerintah Amerika.

Karena itulah Gerakan Islam tak perlu takut akan menjadi musuh bersama. Akidah yang kokoh akan menghasilkan kekuatan ruhiyah, kekuatan moral yang dapat menjadi magnet penghimpun sesama hamba Alloh. Gerakan Islam harus berani menunjukkan kekhasan Islam karena Islam adalah agama yang sempurna, agama yang menjadi solusi dari berbagai permasalahan kehidupan. Solusi Islam merupakan suatu kebutuhan yang akan diterima oleh masyarakat dunia.

Kekhasan dan asholah (keaslian) Islam inilah yang akan menjadi ciri-ciri dari pemimpin-pemimpin yang berhak diikuti di era tanpa Daulah ini. “Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing (ghoriib) dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing (ghuroba) tersebut.” (HR. Muslim). “Senantiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Alloh.” (HR. Muslim). “… Dan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang mendapat pertolongan (Tha’ifah Manshurah), tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka, sehingga datang hari Kiamat.” (HR. Ahmad).

Kebangkitan Islam merupakan kerja besar yang mencakup segala aspek. Pekerjaan ini tidak bisa dipikul oleh satu Gerakan Islam saja. Karena itulah persatuan umat dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu anak tangga menuju Kebangkitan Islam. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Alloh dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran: 103). “Dan janganlah Kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (Al-Anfaal: 46). Seperti telah diuraikan sebelumnya, persatuan ini diprioritaskan kepada ulama, aktivis Islam, dan Gerakan Islam yang teguh menjaga akidah dan keikhlasan.

Saat ini kita dihadapkan pada pemikiran jihad Salafi Jihadi yang cenderung ekstrim. Namun mereka tetap berhak mendapatkan dakwah dan solusi alternatif untuk meninggalkan kecenderungan ekstrimnya. Salah satunya ialah pada konsep takfiri yang mereka anut. Takfiri merupakan salah satu cabang pemahaman khawarij, dimana pemahaman ini memvonis kafir orang-orang Islam yang tidak sejalan dengan paham perjuangannya. Orang Islam yang sudah divonis kafir, menjadi halal darahnya bagi mereka dan berhak diperangi.

Salafi Jihadi meliputi berbagai Gerakan Islam dengan tingkat ekstrimitas berbeda-beda. Tetap terdapat peluang untuk meluruskan pemahaman ekstrim mereka. Gelora jihad yang mereka usung telah menyegarkan kembali semangat perlawanan dan juga kebanggaan akan harga diri Islam. Semangat perlawanan ini menyadarkan kembali bahwa memang harus ada amal jihad dalam perjuangan Islam. Karena jihad inilah yang telah menistakan Uni Sovyet di Afghanistan, mempertahankan keberadaan Islam di Palestina, dan juga membebaskan Bosnia. Negeri-negeri tersebut tidak hanya dapat diselamatkan melalui demonstrasi, pembentukan opini di media, ataupun kecaman para penguasa negeri muslim.

Tahun 1992, tanah Bosnia dikepung kaum Ortodoks Serbia. Dunia internasional dan juga dunia Islam hanya bisa mengecam pembasmian etnis yang terjadi di Bosnia. Para ulama telah khawatir bahwa umat Islam Bosnia akan bernasib sama seperti umat Islam Andalusia, terhapus dari bumi Eropa. Genosida dan eksodus besar-besaran orang Bosnia setiap saat diberitakan. Sampai kemudian muncul berita lain, gelombang-gelombang kecil mujahidin internasional (mayoritas veteran Afghan) bergerak dengan diam-diam. Mereka berjuang bersama mujahidin setempat sehingga membuat Serbia terdesak.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh dan musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya …” (Al Anfaal: 60).

Aksi mujahidin di Bosnia telah menggentarkan Serbia yang merupakan musuh Alloh dan musuh umat Islam. Aksi mujahidin tersebut pun menggentarkan ‘orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya’, yaitu Amerika dan negara-negara Eropa Barat (NATO). Mereka kemudian aktif menjaga keamanan di Bosnia demi mencegah terjadinya revolusi Islam yang akan mendirikan negara Islam Bosnia.

Saat ini Salafi Jihadi merupakan ikon gerakan jihad internasional. Mereka adalah bagian dari umat Islam dan juga salah satu aset penting yang dimiliki umat ini. Tetap ada peluang bagi Gerakan Islam lainnya untuk bersinergi dengan mereka. Ikhwanul Muslimin dan Salafiyun yang pengikutnya sering bergesekan pun ternyata dapat bersatu dalam pemilu parlemen Bahrain di tahun 2006.

Komposisi penduduk Bahrain ialah sekitar 66% pemeluk Syiah dan sekitar 33% Ahlus Sunnah wal Jamaah. Untuk menghadapi kekuatan politik Syiah, partai Salafiyun (Al-Ashalah) dan partai Ikhwan (Al-Mimbar) sepakat untuk membentuk koalisi demi memaksimalkan perolehan suara. Mereka pun berhasil memperoleh 15 kursi, hanya beda 2 kursi dari partai Syiah (Al Wafaq) yang memperoleh 17 kursi. Sedangkan perolehan partai-partai lainnya rata-rata di bawah 5 kursi.

Sinergi gerakan-gerakan Islam di bidang politik, jihad, pembinaan umat, dan aspek-aspek lainnya merupakan kekuatan besar bagi kemenangan Islam. Sinergi ini dapat terjalin dengan ikatan akidah dan keikhlasan. Dan jika ada Gerakan Islam yang tetap kokoh dengan pemahaman Takfiri-nya, maka hanya masalah waktu bagi gelombang Kebangkitan Islam untuk menggilasnya.

Wallohu A’lam bishShowab.

Jakarta, Desember 2009.

abdullah

Maroji’:

1. Al Ikhwan Al Muslimun: Anugerah Allah yang Terzalimi. Farid Nu’man. Depok: Pustaka Nauka, 2004.

2. Dakwah & Jihad Abu Bakar Ba’asyir, Irfan Suryahardi Awwas (editor). Jogjakarta: Wihdah Press, 2003.

3. Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, Abu Abdirrahman Al Thalibi. Jakarta: Hujjah Press, 2006.

4. Majalah Sabili. No. 22/Th. IV 15-31 Juli 1992.

5. Majalah Salafy. Edisi IX/Rabi’uts Tsani/1417/1996.

6. alghuroba.org, diakses September 2009.

7. arrahmah.com, diakses September 2009.

8. eramuslim.com, diakses September 2009.

9. wikipedia.org, diakses November 2009.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS